This post is also available in:
English
COVID-19 secara drastis meningkatkan penggunaan teknologi digital yang otoriter. Pengintaian digital telah meningkat, dengan pelacakan ketat pergerakan dan perkumpulan penduduk yang dilakukan oleh pemerintahnya sendiri. Ruang-ruang fisik – mulai dari kafe hingga perpustakaan, atau bahkan seluruh negeri – dibentengi secara digital, dan masyarakat biasa diperbantukan untuk mengawasi kepatuhan. Ditambah lagi, sistem pendataan yang tidak aman semakin dipenuhi oleh informasi kesehatan pribadi yang jumlahnya kian meningkat.
Demi mengelola pandemi, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya telah meluncurkan pandemi pembatasannya sendiri. Pejabat pemerintah, pakar kesehatan, media arus utama, serta Big Tech telah mendorong sebuah narasi bahwa COVID-19 bisa dikendalikan secara ketat dan demi mencapai sasaran tersebut, penduduk dimanapun memiliki tanggung jawab untuk tunduk, tanpa bertanya-tanya lebih lanjut.
Penanganan pandemi yang “disetujui” pun dibela mati. Media berita mengolok-olok sudut pandang alternatif sebagai berita palsu dan disinformasi, sementara platform media sosial menurunkan pandangan-pandangan yang berlawanan dari deretan kontennya, menyebabkan pembungkaman suara-suara yang menggugat paspor vaksin, lockdown, dan bentuk pembatasan lainnya.
Di saat pembatasan dilonggarkan di berbagai negara, hal ini tidak berlaku di banyak negara lainnya. Selain itu, sebagian besar infrastruktur yang ada selalu siap dipergunakan dan kini satu populasi telah dikondisikan untuk menerima daftar tuntutan selanjutnya.
Pandemi belum berakhir, namun sebuah babak baru telah dimulai, dengan peluang lebih besar bagi komunitas hak digital (yang tidak biasanya minim berbicara sepanjang periode ini) dan masyarakat lebih luas untuk menggugat pandemi pembatasan ini.
Contohnya, pemerintah telah menerbitkan berbagai aplikasi check-in yang sering mengalami kebocoran informasi pribadi. Pemeriksa fakta dan moderator konten juga dilaporkan bekerja sama dengan platform digital untuk menghapus informasi yang sejak saat itu terkonfirmasi benar, atau setidaknya patut diselidiki lebih dalam. Mengapa tagar #naturalimmunity (imunitas alami) dianggap sedemikian berbahayanya sehingga perlu disensor oleh Instagram? Di mana suara-suara oposisi progresif yang menggugat pihak berkuasa?
Hal yang paling meresahkan adalah tren yang secara umum teramati dari kalangan warga negara, termasuk mereka yang progresif, untuk menerima dikorbankannya kebebasan sipil dan kebebasan berbicara dan berekspresi demi model otoriter “percaya pada pakar” yang diterapkan dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada pertanggungjawaban dari pemerintah dan pimpinan perusahaan, alhasil melindungi mereka dari pemeriksaan lebih teliti yang berpotensi menghasilkan solusi lebih baik untuk warga negara secara keseluruhan.
Untuk menumbuhkan diskursus publik lebih lanjut tentang ini, EngageMedia bermitra dengan CommonEdge mengajak penulis, peneliti, dan agen perubahan untuk menanggapi bertumbuhnya otoritarianisme digital – yang dipercepat oleh COVID-19 – di Asia-Pasifik.
Buah hasilnya adalah seri Pandemic of Control, sebuah kontribusi sederhana untuk kewarganegaraan yang lebih kritis. Dalam koleksi ini, Anda dapat menemukan tulisan dari Indonesia, Vietnam, India, Sri Lanka, Bangladesh, Nepal, dan Australia. Para penulis berupaya mempertanyakan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ di balik penanganan pandemi masing-masing negara, sekaligus menerangi jalan yang lebih menghormati hak-hak warga ke depannya.
Kami akan menerbitkan 10 buah tulisan sepanjang bulan April dan Agustus 2022. Setelah selesai melakukan ini, semua tulisan akan dikumpulkan dalam kompilasi digital untuk diedarkan lebih lanjut.
Apabila Anda tertarik untuk berinteraksi lebih lanjut dengan para penulis, EngageMedia, atau CommonEdge, Anda dapat menghubungi kami melalui situs web kami.
Terima kasih,
Andrew Lowenthal, Executive Director, EngageMedia
Sam de Silva, CEO, CommonEdge
Baca seri Pandemic of Control di:
- PeduliLindungi: Benarkah Peduli dan Lindungi?
- In Sri Lanka, state-sponsored disinformation and suppression of dissent taint COVID-19 response
- Vietnam’s Zalo Connect: Digital authoritarianism in peer-to-peer aid platforms
- How the economically marginalised navigate digital adoption in India amid the pandemic
- Mengorbankan kesehatan demi mobilitas? Keterbatasan alat kelola pandemi Indonesia
- Policing the pandemic: Australia’s technology response to COVID-19
- Kontestasi kekuasaan kala COVID-19: Bayangan otoritarianisme digital di Indonesia
- Digital authoritarianism in Bangladesh: Weaponising a draconian law to silence dissent in the pandemic era
- Disruptive Technologies, Surveillance as Governance: Data (Un)Democracy in India during COVID-19
- Towards digital authoritarianism in Nepal: Surveillance, data collection, and online repression