Artikel ini merupakan bagian dari Pandemic of Control, seri artikel yang bertujuan mendorong diskursus publik mengenai kebangkitan otoritarianisme digital di Asia-Pasifik semasa COVID-19. Pandemic of Control diprakarsai oleh EngageMedia melalui kemitraan dengan CommonEdge. Baca informasi lebih lanjut tentang seri ini di sini dan tentang penulis yang berkontribusi di akhir tulisan ini.
Di Indonesia, negara dengan 270 juta penduduk yang berasal dari berbagai latar etnis, peningkatan gaya pemerintahan bertangan besi, menghadirkan bayangan otoritarianisme yang semakin dekat. Pandemi COVID-19 telah memberikan peluang bagi pemerintah Indonesia untuk mempercepat otoritarianisme digital, dengan mengusung mantera “menjaga keamanan nasional” dan “menciptakan kestabilan selama pandemi COVID-19”.
Pada tahun 2022, Indonesia meraih peringkat 64 dengan nilai 6,30 dalam Indeks Demokrasi Economist Intelligence Unit, yang menempatkannya dalam kategori “demokrasi cacat” (flawed democracy). Meskipun indeks tahun 2021 menunjukkan perbaikan dengan Indonesia naik ke peringkat 52, masih ada sejumlah rintangan besar yang menghalangi penegakan demokrasi. Laporan dari berbagai sumber seperti Freedom House, IDEA, dan Reporters Without Borders menyoroti permasalahan penyusutan ruang sipil, baik dalam dan luar jaringan. Beberapa laporan nasional juga memiliki kesimpulan yang sama: survei tahun 2020 oleh Komnas HAM menunjukkan bahwa 29,4% warga negara Indonesia merasa tidak bebas dalam mengutarakan kritik terhadap pemerintah. Pada saat yang bersamaan, 52,1% responden survei LP3ES pada April 2021 (yang secara umum menyasar kelas menengah dan atas perkotaan) menyatakan bahwa mereka takut menyuarakan pendapat dan berkumpul dalam asosiasi.
Jumlah pengguna internet di Indonesia kini mencapai 204,7 juta terhitung Januari 2022, atau sama dengan 73,7% total jumlah penduduk. Dengan berlanjutnya perpindahan kehidupan publik ke dunia maya, hal yang sama terjadi dengan upaya pemerintah untuk mengekang hak-hak dan kebebasan rakyat.
Kontestasi kekuasaan di masa COVID-19
Saya memimpin Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), sebuah organisasi tingkat regional yang fokus memajukan dan melindungi hak-hak digital di negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 2020, kami menerbitkan laporan berjudul “Bangkitnya Otoritarian Digital” yang menyoroti kemunduran demokrasi di Indonesia.
Alina Polyakova, Kepala Center for European Policy Analysis, dan Chris Meserole, Direktur Penelitian Artificial Intelligence and Emerging Technology Initiative, mendefinisikan otoritarianisme digital sebagai “pemanfaatan teknologi informasi digital oleh rezim otoriter untuk mengintai, merepresi, dan memanipulasi populasi dalam dan luar negeri”. Sejak 2019, Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam indikator-indikator otoritarianisme digital: penyensoran daring, pengintaian siber, dan pemadaman internet.
Pengintaian daring
Saat pandemi mulai melanda Indonesia di bulan Maret 2020, Presiden Jokowi menginstruksikan badan-badan intelijen negara untuk menjaga ketertiban umum guna menanggulangi ketakutan dan kepanikan publik. Sebulan kemudian, polisi mulai secara aktif mengendalikan narasi tentang situasi COVID-19 dalam negeri, terutama di media sosial. Sebagai contoh, pada 4 April 2020, Kepala Kepolisian RI menerbitkan Surat Telegram No. ST/1100/IV/HUK.7.1/2020, guna mengerahkan aparat kepolisian melakukan patroli siber untuk memantau opini daring dan menindak penyebar hoaks tentang pandemi, kebijakan pemerintah, serta hinaan terhadap Presiden dan pemerintah. Amnesty International melaporkan bahwa sekurangnya 57 orang ditangkap karena menyebarkan “berita bohong”.
Pada Februari 2021, pemerintah meluncurkan satuan “polisi siber” yang akan berpatroli dalam berbagai platform daring untuk memantau konten yang dibuat oleh warga, dengan tujuan mengurangi kejahatan yang berkaitan dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan ini, polisi diberikan kewenangan untuk mengirimkan peringatan digital kepada pengguna media sosial, melalui teguran hingga permintaan penghapusan konten dinilai melanggar hukum. Dalam kurun waktu Februari hingga Maret 2021, polisi siber telah mengirimkan peringatan kepada 89 akun media sosial atas tuduhan penyebaran muatan kebencian. Polisi siber telah menanamkan ketakutan baru yang membatasi privasi dan kebebasan berekspresi bagi warga Indonesia.
Aplikasi PeduliLindungi yang diluncurkan pada awal pandemi juga menyimpan ancaman privasi dan keamanan digital. Aplikasi yang dicetuskan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) RI ini dirancang untuk melacak keterpaparan warga terhadap COVID-19. Audit yang dilakukan oleh DigitalReach dan CitizenLab telah menandai beberapa isu privasi di dalamnya, khususnya berkenaan dengan izin akses berlebihan dan fitur tidak perlu. Di antaranya, dalam laporannya pada tahun 2020, CitizenLab mencatat bahwa PeduliLindungi mengumpulkan alamat WIFI MAC dan IP lokal pengguna, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pengguna dan tidak diperlukan untuk pelacakan kontak. Aplikasi ini juga mengirimkan informasi lokasi perangkat dan info pengguna ke peladen (server) pengembang, memungkinkan mereka melacak lokasi fisik perangkat yang bersangkutan.
Dalam laporannya tentang praktik HAM di Indonesia tahun 2021, Kementerian Luar Negeri AS mencatat “kekhawatiran LSM tentang informasi mana saja yang dikumpulkan aplikasi dan cara data ini disimpan dan digunakan oleh pemerintah [Indonesia” dalam sub-bagian tentang gangguan privasi yang melawan hukum. Meskipun pemerintah Indonesia bersikeras bahwa langkah-langkah telah diambil untuk mengatasi masalah keamanan dalam aplikasi, masih tersisa kekhawatiran tentang keamanan data pengguna. Aplikasi diperluas untuk tujuan sertifikasi vaksin dan sebagai sistem digital gating, yang menolak pengunjung yang belum divaksinasi untuk memasuki mal, toko, dan berbagai lokasi lainnya. Pertanyaan mengenai pihak mana yang memiliki data pengguna masih belum terjawab.
Represi daring
Pandemi membuka ruang bagi aparat penegak hukum untuk memanfaatkan UU ITE untuk membatasi kebebasan berekspresi secara disproporsional. Undang-undang yang ditujukan untuk memidana pelaku kejahatan siber mengandung beberapa pasal yang memperlebar kemampuan pemerintah untuk menghukum komentar di media sosial. Dalam undang-undang represif tersebut, aktivis yang menggunakan akun media sosial untuk mengutarakan pendapat berseberangan bisa berhadapan dengan tuntutan pidana terkait ujaran kebencian, pencemaran nama baik, atau bahkan makar, seperti yang dialami sejumlah aktivis Papua.
UU ITE telah menjelma menjadi senjata negara untuk membungkam kritik, walaupun juga sering digunakan oleh politikus dan pengusaha terhadap pihak-pihak yang mengkritik mereka. Pengenaan pasal-pasalnya terhadap warga biasa, aktivis, dan jurnalis semakin meningkat, terutama yang menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM dan lingkungan hidup. Jumlah tuntutan berlandaskan pasal pencemaran nama baik UU ITE telah meningkat: dari 24 pada 2012 dan 84 pada 2020 menjadi 91 pada 2021. Beberapa di antaranya menyasar kritik terhadap respons pemerintah terhadap COVID-19. Pada September 2021, contohnya, Kepala Staf Kepresidenan meluncurkan tuduhan pencemaran nama baik kepada dua peneliti Komisi Pemberantasan Korupsi atas penelitian yang mereka kerjakan. Menurut hasil penelitian, sejumlah pejabat pemerintahan terlibat dalam upaya mendorong pemakaian obat Ivermectin selama pandemi.
Pada saat bersamaan, serangan menggunakan teknologi digital yang mutakhir telah dimanfaatkan sebagai bentuk represi daring. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa, sepanjang tahun 2020 dan 2021, mereka menerima laporan peretasan terhadap media, organisasi, dan individu kritis – yang berlangsung di saat negara terkena dampak pandemi. Salah satu kasus dialami oleh Ravio Patra, seorang peneliti yang mengkritik respons pandemi pemerintah. Polisi menangkapnya atas tuduhan menyebarkan pesan yang “menyulut kebencian dan kekerasan” walaupun kelompok-kelompok aktivis menegaskan bahwa akun Ravio telah diretas. Peristiwa serupa dialami oleh media daring tirto.id; peretas tidak dikenal menghapus beberapa artikel berita yang bernada kritis terhadap peran BIN dalam respons pandemi.
Penindasan berbasis teknologi dalam bentuk serangan digital semakin memburuk. Menurut laporan situasi hak digital SAFEnet tahun 2020, sekurangnya terjadi 147 serangan digital sepanjang tahun 2020. Hampir semua kasus serangan digital berkelindan dengan pengkritik kebijakan pemerintah tentang berbagai isu, terutama penanggulangan pandemi. Pada tahun 2021, jumlah serangan digital meningkat menjadi 193, dengan rata-rata 12 serangan per bulan.
Manipulasi daring
Laporan oleh Universitas Diponegoro mengungkap bahwa pemanfaatan pasukan siber berbayar (lebih dikenal sebagai “pendengung” atau “buzzer”) untuk menggalang dukungan terhadap kebijakan-kebijakan kontroversial selama pandemi COVID-19.
Manipulasi dilakukan oleh buzzer, jaringan akun palsu (sockpuppet) yang berubah-ubah, influencer, pencipta konten, dan konsultan politik yang bekerja sama untuk merekayasa opini publik di media sosial dengan membangun narasi khusus tentang isu-isu politik tertentu. Pasukan siber ini umumnya didanai politikus, partai politik, dan pengusaha. Mereka beroperasi dengan menyebarkan hoaks, disinformasi, serta melakukan doxing dan trolling.
Pada puncak krisis COVID-19, pasukan siber ini dikerahkan untuk menggalang dukungan publik untuk kebijakan New Normal pemerintah, yang mendorong warga untuk melakukan kegiatan normalnya dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Pada Juni 2020, beberapa pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah pusat agar lockdown bisa diberlakukan guna membatasi penyebaran. Sebagai balasan, beberapa badan pemerintah pusat memanfaatkan jasa influencer untuk kampanye New Normal yang mempromosikan pemulihan ekonomi. Strateginya di antaranya mengamplifikasi laporan berita – sebagian besar dari kantor berita milik penguasa media merangkap pimpinan partai politik – yang menyepelekan ancaman COVID-19, serta melakukan pelecehan dan doxing terhadap mereka yang mengkritik kesalahan pengelolaan pandemi oleh pemerintah. Pengerahan gabungan akun palsu dan influencer ini memiliki tujuan ganda: memajukan narasi nasional tunggal bahwa COVID-19 bukan sebuah krisis mematikan, sekaligus menghalangi penentangan dari masyarakat sipil dan pemerintah daerah yang memiliki kebijakan yang berbeda.
Strategi-strategi ini telah berhasil mengkooptasi ruang publik digital Indonesia, menghalanginya dalam menjadi ruang bebas yang memungkinkan suara-suara masyarakat sipil untuk didengar. Dalam hal ini, manipulasi opini publik secara daring oleh pasukan siber berbayar bisa dipandang sebagai salah satu pertanda utama kebangkitan otoritarianisme digital di Indonesia.
Masyarakat sipil Indonesia perlu melawan balik kemunduran demokrasi ini untuk mencegah kejatuhan negeri ini ke dalam jurang otoritarianisme.
Damar Juniarto adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang dikenal dari kiprahnya di bidang hak digital dan kebebasan berekspresi daring di Asia Tenggara. Sejak 2013, dia telah menjadi Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Sebelumnya, dia juga pernah menjabat sebagai Advisor di DigitalReach, organisasi regional yang melihat dampak teknologi terhadap HAM di Asia Tenggara. Damar telah menerima penghargaan atas kerjanya, antara lain, Rest of World’s Global Tech Changemakers di tahun 2022 dan Anugerah Dewan Pers untuk mempromosikan kebebasan pers di Indonesia.