Mengorbankan kesehatan demi mobilitas? Keterbatasan alat kelola pandemi Indonesia

This post is also available in: English

Artikel ini merupakan bagian dari Pandemic of Control, seri artikel yang bertujuan mendorong diskursus publik mengenai kebangkitan otoritarianisme digital di Asia-Pasifik semasa COVID-19. Pandemic of Control diprakarsai oleh EngageMedia melalui kemitraan dengan CommonEdge. Baca informasi lebih lanjut tentang seri ini di sini dan tentang penulis yang berkontribusi di akhir tulisan ini.


Sejak vaksin COVID-19 mulai diluncurkan di bulan Januari 2021, rakyat Indonesia berbondong-bondong untuk mendapatkan vaksin. Peliputan media yang luas tentang lonjakan kasus, kampanye pemerintah yang menggadangkan efikasi vaksin dalam meningkatkan imunitas, dan ketakutan terjangkit penyakit menggerakkan banyak orang untuk mengantre di Puskesmas. Terhitung April 2022, 59% of dari 270 penduduk Indonesia telah divaksin.

Kelompok terimunokompromi (immunocompromised) yang mengidap penyakit autoimun seperti saya punya kekhawatiran tersendiri tentang keamanan vaksin sehubungan dengan kondisi medis kami, sehingga banyak di antara kami yang memilih untuk menunggu dan mengambil langkah-langkah tambahan (seperti menghindari kerumunan) demi keamanan kami. Pada bulan Juli 2021, pemerintah Indonesia meluncurkan aplikasi PeduliLindungi yang ditujukan untuk menjadi alat kelola pandemi guna pemberlakuan protokol kesehatan, pelacakan kontak, dan pemantauan status vaksinasi. Sejak peluncurannya, PeduliLindungi – serta status vaksinasi seseorang sebagaimana ditampilkan dalam aplikasi – menjadi syarat mutlak untuk bergerak leluasa di ruang umum. Masyarakat diwajibkan memasang aplikasi tersebut dalam ponsel pintar mereka agar bisa memindai kode QR di berbagai fasilitas seperti bank, toko, maupun pusat kesehatan untuk dapatdiizinkan masuk.

Tuntutan wajib untuk menjadi bagian dari sistem PeduliLindungi dan menunjukkan status vaksinasi saya demi mengakses layanan dasar menciptakan rintangan besar dalam rutinitas harian saya. Kebebasan bergerak saya dibatasi saat pemerintah mengandalkan aplikasi seperti PeduliLindungi untuk mengendalikan pandemi – walaupun kekhawatiran terhadap privasi data dan keefektifan alat-alat digital serupa sebagai alat kelola pandemi sudah ada sejak awal. (Pelajari aplikasi PeduliLindungi lebih dalam melalui artikel lain dari seri Pandemic of Control.)

Pembatasan terhadap kebebasan bergerak

Pada mulanya, saya tidak ingin divaksinasi karena kondisi penyakit autoimun yang saya miliki. Sepuluh tahun yang lalu, saya didiagnosis mengidap rheumatoid arthritis (rematik), penyakit autoimun yang membuat sistem imun saya salah sasaran dan menyerang sel-sel sehat dalam tubuh saya, mengakibatkan peradangan. Karena kondisi saya ini, saya sangat selektif dalam memasukkan obat ke dalam tubuh saya, termasuk vaksin.

Permasalahan mulai muncul ketika berbagai instansi mulai menuntut bukti vaksinasi sebagai syarat untuk memasuki ruang publik seperti perkantoran, bank, dan mal. Pada awal 2022, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan pernyataan bahwa hanya orang yang divaksinasi lengkap (dua kali) yang dapat memasuki fasilitas publik. Hal ini dapat dilihat melalui aplikasi PeduliLindungi, yang menampilkan status kesehatan masyarakat melalui empat kriteria warna:

  • Hitam: Pengguna positif COVID-19 atau memiliki riwayat kontak erat dengan pasien COVID-19
  • Merah: Pengguna belum divaksinasi atau telah terpapar kasus COVID-19; tidak diperkenankan untuk memasuki tempat umum
  • Kuning: Pengguna telah menerima dosis pertama vaksin; diperkenankan untuk memasuki tempat umum usai melakukan verifikasi lebih lanjut dan dengan menaati protokol kesehatan yang ketat
  • Hijau: Pengguna sudah menerima dosis vaksinasi lengkap dan diperkenankan memasuki tempat umum.

Karena saya belum divaksinasi, saya menghadapi kesulitan untuk bergerak karena pekerjaanmenuntut saya menempuh perjalanan luar kota. Untuk menggunakan transportasi umum, saya memerlukan surat keterangan dokter untuk setiap perjalanan yang ditempuh. Saya juga bisa meminta sertifikat penyakit autoimun saya dari spesialis penyakit dalam, namun untuk mendapatkannya saya harus menjalani beberapa tes medis dan mendatangi rumah sakit yang berjarak lebih dari 20 kilometer dari rumah saya di Yogyakarta. Ditambah lagi, individu yang belum divaksinasi seperti saya diwajibkan menjalani tes RT-PCR terlebih dahulu, yang hanya bisa dilakukan di laboratorium dan rumah sakit besar (juga berjarak jauh dari rumah) dan hasilnya baru diperoleh beberapa hari kemudian.

Tidak efektifkah sebagai alat kelola pandemi?

Pemerintah di berbagai belahan dunia telah mengandalkan aplikasi seperti PeduliLindungi untuk mengekang mobilitas mereka yang belum divaksinasi sebagai bagian dari upaya penanggulangan COVID-19-nya. Pendukung kebijakan ini berdalih bahwa pemberlakuan alat sejenis ini menaikkan tingkat vaksinasi (terlepas dari kekhawatiran sah yang dimiliki pengidap penyakit autoimun seperti saya). Pihak yang skeptis menyoroti bahwa alat-alat ini tidak hanya memiliki host of scientific, ethical, and legal issues yang justru hanya memperparah kesenjangan; selain itu, pemanfaatan platform-platform digital ini menyimpan risiko untuk privasi dan keamanan digital. Tujuan utama paspor vaksinasi seperti ini adalah menanggulangi infeksi, namun dari dulu sudah jelas bahwa vaksinasi dan paspornya tidak efektif dalam hal ini.

Sebagai contoh, PeduliLindungi memiliki basis data yang masif – lebih dari 50 juta orang telah mengunduh aplikasi ini. Namun masih tersisa pertanyaan tentang keamanan informasi yang disimpan oleh sistem. Kekhawatiran juga ada terhadap saling terhubungnya PeduliLindungi dengan berbagai aplikasi pihak ketiga yang berakibat pada potensi pembobolan data , serta klausul pelepasan tanggung jawab PeduliLindungi terhadap “pelanggaran atau akses tak berwenang”.

Masalah-masalah di atas mengundang pertanyaan: apakah aplikasi seperti PeduliLindungi – dengan masalah keamanan data dan potensi memperkuat praktik-praktik diskriminasi dengan mengekang kebebasan bergerak – adalah respons yang sesuai untuk tujuan utama mengurangi penyebaran COVID-19?

Uji tuntas (due diligence) dan pencermatan diperlukan

Meskipun saya harus menunggu tersedianya vaksin yang lebih aman, akhirnya saya memutuskan untuk divaksinasi karena sengkarut dalam menempuh perjalanan dan menjalani kegiatan harian saya. Idealnya, saya seharusnya mengunjungi dokter dan menjalani rangkaian tes sebelum divaksinasi, namun saya tidak melakukan ini karena rumah saya jauh dari kota.

Selain saya, beberapa orang lain mengambil risiko yang serupa. Bagi banyak orang, biaya untuk kunjungan dokter dapat menjadi halangan besar. Di Yogyakarta saja, sebagai contoh, upah minimum bulanan tidak sampai Rp2,000,000 (sekitar 138 USD), dan biaya tes untuk menentukan keamanan vaksinasi bagi seseorang dengan penyakit autoimun bisa mencapai Rp1,000,000 (sekitar 69 USD).

Meskipun terdapat kekhawatiran wajar terhadap dampak kesehatan vaksin terhadap pengidap penyakit autoimun, orang-orang seperti saya memutuskan untuk menerima vaksin dan menggunakan aplikasi PeduliLindungi demi mendapatkan kebebasan bergerak lebih besar dalam rutinitas harian kami. Walaupun kompromi dalam beberapa hal diperlukan demi mengamankan kesehatan masyarakat, mewajibkan alat seperti PeduliLindungi perlu dicermati lebih lanjut ketimbang diberlakukan secara terburu-buru, untuk menjamin bahwa pihak berwenang menggunakan solusi yang bekerja secara efektif dalam membatasi penyebaran sembari melindungi masyarakat dari penggunaan alat digital yang memfasilitasi eksklusi sosial dan pengekangan hak-hak digital dan HAM.