Search
Close this search box.

Pasal Anti-Kritik dalam KUHPidana di Indonesia: Urgensi Menghadirkan Interpretasi Demokratis pada Pasal Kolonialis

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris

Artikel ini ditulis oleh Adnan Yazar Zulfikar dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sebagai bagian dari proyek Advokasi dan Komunikasi Pemuda untuk Kebebasan Internet EngageMedia, yang bertujuan untuk memperluas kesadaran dan keterlibatan terhadap isu-isu hak digital di kalangan aktivis pemuda di Asia-Pasifik.

Adnan Yazar Zulfikar adalah Dosen muda pada Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, sekaligus Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara pada kampus yang sama. Di luar kampus, Adnan pun aktif menjadi konsultan independen yang membantu lembaga negara dan pemerintahan dalam pembentukan kebijakan dan peraturan perundang-undangan.


Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brasil, dalam bukunya yang berjudul “pedagogy of the oppressed” mengungkap fenomena manusia yang berasal dari kaum terjajah yang memiliki kecenderungan untuk berperilaku mirip seperti penjajah setelah mereka mendapatkan kekuasaan. Barangkali pendapat Freire tersebut menjelaskan fenomena pembentukan KUHP baru di Indonesia.
Setelah hampir satu abad Indonesia membebaskan diri dari penjajahan, menuju cita Pemerintah mengenai “Indonesia Emas 2045”, Pemerintah dan DPR berhasil menciptakan KUHPidana nasional-nya sendiri melalui pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tak pasti apa yang ada di balik alam pikir para pembentuk KUHPidana baru. Namun di bawah narasi dekolonisasi, upaya menghapus nuansa kolonial dari KUHP yang selama ini berasal dari warisan Hindia Belanda, Pemerintah dan DPR membentuk KUHPidana baru dengan sejumlah substansi pasal yang tak kalah kolonial.

Beberapa pasal bernuansa kolonial tersebut, antara lain Pasal 218 – 220 mengenai ketentuan pidana terhadap penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan Pasal 240 – 241 mengenai ketentuan pidana terhadap penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara.

Keberadaan pasal-pasal di atas menjadi kontraproduktif dengan perkembangan internet, yang telah memberikan medium yang luas kepada publik terutama anak muda untuk menyuarakan kritik akademik (maupun tidak akademik)-nya. Bukannya menjamin kebebasan berinternet, keberadaan pasal bermasalah ini membuat setiap ruang di dunia digital menjadi tempat yang tak aman untuk menyampaikan aspirasi atau kritik kepada pemerintah, karena siapapun kapanpun bisa secara tak terduga diproses secara pidana.

Padahal, anak muda memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan, baik dengan mengarahkan diskursus di ruang akademik dan ruang publik sesuai dengan aspirasi mereka sebagai pemilik masa depan, maupun melalui gerakan advokasi litigasi dan non litigasi. Di Indonesia sendiri, advokasi non litigasi sering dilakukan dengan mengkampanyekan gagasan pada pejabat publik pembentuk kebijakan, sedangkan advokasi litigasi dilakukan dengan menggugat kebijakan tersebut melalui jalur peradilan (judicial review).

Pencemaran nama baik dan ‘klausul karet’ lainnya

Kilas balik, kasus pejabat publik atau simpatisannya yang melaporkan warga negara yang melakukan kritik, melalui pasal ‘penghinaan’, sudah sering ditemui bahkan cenderung menjadi budaya hukum. Budaya melaporkan orang yang mengekspresikan kemarahannya atas perilaku dan kinerja pejabat publik, tercermin berbagai kasus. Rocky Gerung, misalkan, mendapat laporan hukum setelah melontarkan kata “bajingan tolol” kepada Presiden sebagai kritik atas salah kebijakan Presiden yang menggadaikan proyek pembangunan IKN kepada investor asing. Haris-Fatia dilaporkan pencemaran nama baik, setelah mengungkap hasil studi NGO mengenai keterlibatan kekuatan militer pada bisnis eksploitasi tambang emas di Papua.

Frasa karet yang tidak pernah memiliki parameter yang terukur dan objektif. Namun, benang merah dari ketiga kasus tersebut, pada dasarnya ketiganya berkaitan dengan kritik atau kekecewaan atas bagaimana otoritas mengelola urusan publik. Berbagai kasus tersebut menimbulkan rasa takut di kalangan publik dalam mengekspresikan kekecewaan dan menyampaikan kritik pada pemerintah. Jadi keberadaan norma yang memberikan ancaman pidana kepada orang yang melakukan “penghinaan” kepada pemerintah menimbulkan budaya melaporkan kritik pada sisi pemerintah, serta budaya takut mengekspresikan kritik pada sisi rakyat. Gejala tersebut tidak sehat bagi kehidupan berhukum dan berdemokrasi di Indonesia.

Padahal, pasal sejenis dalam KUHPidana lama telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. MK menimbang bahwa ketentuan tersebut sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan Indonesia yang berkomitmen untuk menjadi sebuah negara hukum yang demokratis.

Pertimbangan ini mengisyaratkan affirmasi dari MK bahwa keberadaan pasal tersebut menghambat orang untuk secara bebas mengkritik Presiden dan Wakil Presiden. Ini menarik untuk dieksplorasi dalam korelasinya dengan konsep negara hukum modern yang memandang jabatan negara sebagai fiksi atau konstruksi hukum, atau apa yang Yuval Noah Harari sebut sebagai “imagined realities”, yang bersifat impersonal. Jabatan Presiden dan Wakil Presiden lahir karena bangsa Indonesia hidup berkonstitusi, dengan mana rakyat (the constituent) sebagai sumber legitimasi kekuasaan melahirkan organisasi jabatan dan kewenangan (the constituted) untuk mengelola kepentingan bersama (res publica). Jabatan-jabatan tersebut tidak lahir dan tumbuh dengan sendirinya, melainkan bersifat konstitutif dalam arti sengaja dibentuk untuk mengorganisasi kekuasaan yang ada pada masyarakat.

Apabila konsisten dengan fiksi hukum bahwa jabatan-jabatan dalam pemerintahan di negara hukum modern, termasuk Presiden dan Wakil Presiden, bersifat impersonal maka seharusnya pasal penghinaan kepada mereka menjadi tidak relevan lagi. Ketentuan pidana atas penyerangan harkat martabat Presiden sebagaimana diatur Pasal 218-220 KUHPidana baru, maupun ketentuan pidana atas penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara sebagaimana diatur Pasal 240-241 KUHPidana baru, sangat absurd karena jabatan atau lembaga negara tersebut bersifat objek yang tidak memiliki harkat atau martabat yang perlu dilindungi.

Yang memiliki harkat dan martabat untuk dilindungi adalah manusia individual dibalik jabatan-jabatan tersebut, karena harkat dan martabat adalah kualitas yang melekat pada diri manusia bukan jabatan. Namun, sebagai kualitas dalam diri manusia maka perlindungan terhadap harkat dan martabat orang yang sedang menduduki jabatan publik tidak memerlukan perlindungan yang berbeda dari warga negara biasa sebagaimana pertimbangan Putusan MK. Dengan kata lain, tidak perlu ada pasal khusus mengenai ketentuan pidana atas penyerangan harkat martabat Presiden dan Wapres, serta Pemerintah atau Lembaga Negara.

Pejabat negara dan pemerintahan, apabila merasa mendapatkan pelanggaran harkat atau martabat pada dirinya sebagai individu, harus menggunakan delik yang sama dengan warga negara biasa yakni delik penghinaan umum, karena tidak ada setitikpun harkat martabat mereka menjadi lebih tinggi dari manusia lain karena mereka dititipi jabatan publik.

Apalagi menimbang kedudukan mereka sebagai pejabat publik dalam melaksanakan dan mengelola kekuasaan yang dititipkan publik, dengan biaya yang dibebankan pada uang publik, maka para pejabat publik tersebut seharusnya merasa berhutang pada pendapat dan kritik publik atas kinerja mereka. Menciptakan lingkungan yang terbuka pada kritik publik merupakan bentuk sikap demokratis dan bertanggungjawab dari para pejabat. Keberadaan pasal-pasal yang berisi ancaman pidana bagi orang yang melakukan “penghinaan” kepada pejabat publik, bukan merupakan salah satu contoh kebijakan yang dapat menciptakan lingkungan yang demokratis pada kritik publik. Hanya, sebaliknya.

Sebuah seruan untuk bertindak bagi generasi muda

Meski keberadaan pasal-pasal ini mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan berinternet, “lebih bijak dalam berpendapat”, “lebih berhati-hati dalam memposting”, atau “tidak usah bicara politik”, bukan merupakan pilihan bagi publik terutama anak muda yang ingin kehidupan sipilnya membaik. Masih ada ruang untuk publik, terutama anak muda yang aktif di dunia digital, untuk merebut tafsir KUHPidana yang lebih demokratis dan ramah hak asasi manusia serta memberikan tekanan kepada penguasa melalui aksi kolektif.

Sekali lagi, hukum merupakan realitas imajiner sebagai resultante dari pemahaman kolektif mengenai bagaimana seharusnya sesuatu dihukumi. Bila dalam pembentukan KUHPidana gaya pikir monarkis dan kolonialis mendominasi lahirnya pasal-pasal bermasalah, maka setelah KUHPidana diberlakukan masih ada ruang bagi publik untuk “reinterpret” pasal-pasal KUHPidana dengan bacaan yang lebih baik. Kolektivitas anak muda untuk mengkampanyekan pasal-pasal bermasalah dalam KUHPidana dapat menjadi tekanan tersendiri kepada penguasa.

Salah satu jalan konstitusional untuk merebut tafsir tersebut adalah melalui uji konstitusionalitas UU KUHPidana kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun, UU KUHPidana baru dilaksanakan pada tahun 2026, namun secara hukum UU tersebut telah hidup setelah disahkan Presiden awal tahun ini sehingga dapat diuji.

Pengujian UU kepada Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan oleh pihak yang merasa mengalami kerugian konstitusional, baik secara nyata apabila ada orang yang diproses pidana berdasarkan pasal tersebut, atau potensial apabila ada orang yang merasa terancam atau takut menyampaikan kritik karena keberadaan ancaman pidana tersebut. Tentu menunggu salah satu dari kita menjadi korban pasal bermasalah bukan pilihan. Oleh karena itu, pasal anti kritik pada KUHPidana dapat diuji dan segera anak muda merebut tafsir KUHPidana yang lebih demokratis.