Search
Close this search box.

Featured Filmmaker: Paradoc

Paradoc adalah organisasi pembuat film yang bekerja bersama untuk menciptakan perubahan sosial menggunakan media audio visual. Dalam websitenya, mereka menyatakan “Video for Change” sebagai tipe kerja utama mereka.

Name: Paradoc

Organisasi: Paradoc

Negeri:​ Indonesia

Pendiri: Linda Nursanti and Mada Ariya Putra

Paradoc adalah organisasi pembuat film yang bekerja bersama untuk menciptakan perubahan sosial menggunakan media audio visual. Dalam websitenya, mereka menyatakan “Video for Change” sebagai tipe kerja utama mereka.

Salah satu video karya mereka yang paling banyak dibicarakan adalah film berjudul “Lakardowo” yang memotret perlawanan warga masyarakat melawan polusi limbah beracun yang membahayakan lingkungan dan manusia dari sebuah tempat pembuangan limbah di Mojokerto, Jawa Timur. PT PRIA yang mengoperasikan tempat ini. Sejak 2010, warga Lakardowo telah menderita akibat kontaminasi limbah beracun. Hal ini juga membawa dampak kerusakan sosial dan ekonomi warga. Anak-anak dan perempuan menjadi korban tertinggi akibat pembuangan limbah beracun ke pemukiman warga ini.

Paradoc telah meraih berbagai nominasi penghargaan atas karya-karya mereka, termasuk nominasi “Film Dokumenter Terbaik” pada Festival Film Indonesia ke-33, Fitur Dokumenter Terbaik (Bekantan Award)” pada Festival Film Lingkungan Hidup di Kalimantan 2018 dan pilihan juri (Lanskap Program) pada Festival Film Dokumenter ke-17 tahun 2018 di Yogyakarta.

Kami berbincang dengan Paradoc untuk mengetahui lebih banyak soal kerja mereka.

Paradoc 1

Dengan kata-katamu sendiri

EngageMedia (EM): Bagaimana Paradoc terbentuk?

Paradoc (P): Ide nama Paradoc berasal dari Mada Ariya Putra dari kata “paradoks”. Paradoc terbentuk dari kesamaan visi dan misi untuk berkarya bersama di genre dokumenter. Paradoc terbentuk tahun 2016, saat mulai mengalami film dokumenter “Lakardowo Mencari Keadilan”. Saat itu, Paradoc beranggotakan Linda Nursanti dan Mada Ariya Putra.

EM: Apa tujuan membuat dokumenter tentang warga Lakardowo di Mojokerto?

P: Awalnya dokumenter tersebut dibuat sebagai tugas akhir di Institut Seni Indonesia Surakarta. Seiring berjalannya proses riset, kami menyadari film ini penting untuk mengkampanyekan isu Lakardowo, karena belum banyak media (massa) yang mengekspos masalah di Lakardowo. Film ini juga menginformasikan tentang bahaya limbah B3, sehingga masyarakat bisa lebih kritis menyikapi pertumbuhan industri di sekitarnya.

Menurut kami, pertumbuhan industri tidak diimbangi dengan tempat pengolahan limbah B3 yang maksimal. Masyarakat yang tidak tahu bahaya limbah B3 menganggap limbah tersebut seperti pasir biasa, sehingga banyak yang menjualnya untuk bahan bangunan. (Note: screenshot film yg menunjukkan wujud limbah B3). Pemerintah juga tidak melakukan pencegahan limbah dan tidak menindak pelaku industri yang menghasilkan limbah.
Karena itu, film ini jadi punya misi besar.


EM: Bagaimana tanggapan warga Lakardowo saat mengetahui Paradoc akan membuat film tentang mereka?

P: Masyarakat sangat welcome namun tetap berhati-hati dengan “orang luar”, karena mereka kecewa dengan janji orang-orang yang ingin membantu mereka. Saya sendiri mengetahui kasus Lakardowo dari LSM Ecoton Indonesia. Niat kami membuat film langsung diterima masyarakat setelah tahu saya mengenal LSM Ecoton.

EM: Adakah pembelajaran yang bisa dibagi pada sesama pembuat film dokumenter dan advokasi, dari proses membuat film tersebut?

P: Banyak pelajaran yang kami dapat yang utama dalam membuat film dokumenter ini salah staunya adalah perlu adanya motivasi sebagai dorongan dalam proses pembuatan film. Hal ini mirip dengan kegelisahan diri melihat lingkungan sekitar yang kemudian disampaikan melalui karya film dokumenter tersebut. Hal itu akan memberikan nyawa pada film dokumenter sesuai dengan yang ingin kita sampaikan. Dan dengan film dokumenter selain dapat memberikan informasi dan edukasi juga bisa menjadi media advokasi untuk masyarakat, khususnya di Lakardowo.

EM: Bagaimana menurut Paradoc, tanggapan penonton sejauh ini?

P: Antusiasme yang tinggi dari penonton, terlihat dari banyaknya permintaan untuk mengakses film ini dari masyarakat guna diputar dalam nobar dan diskusi. Sudah banyak kota yang memutar film Lakardowo Mencari Keadilan seperti Mojokerto, Yogyakarta, Solo, Tangerang, Jombang, Pasuruan, Malang, Bogor, Denpasar serta di Provinsi Aceh dan daerah lain dan ini akan terus bertambah di bulan-bulan mendatang di tahun 2019 ini. Setelah menonton film “Lakardowo Mencari Keadilan” banyak penonton yang ingin bersolidaritas dan mengunjungi langsung desa Lakardowo dan mengajukan diri membantu warga Lakardowo.

EM: Adakah kesan, masukan, atau kritik yang bisa diceritakan pada kami, misalnya dari tanggapan penonton?

P: Kesan yang kami terima dari penonton, terutama bahwa mereka dapat merasakan emosi yang diciptakan dalam film. Mereka juga baru mengetahui bahaya limbah B3 dan miris melihat kondisi di Lakardowo serta respon pemerintah yang lamban dan banyak pula ingin bersolidaritas langsung ke Lakardowo, terutama dari mahasiswa. Penonton jadinya ingin tahu lebih dari segi personal.

EM: Bagaimana pendapat Paradoc tentang penyebaran video dalam jaringan (online)? Membantu atau tidak? Jika belum, apa yang kiranya bisa mendukung proses advokasi?

P: Sangat membantu, dengan melalui jaringan online dapat menjangkau lebih luas ke masyarakat umum. Namun mengandalkan media online saja tidak cukup, perlu diimbangi dengan kerja sama atau kolaborasi dengan suatu komunitas atau kelompok sehingga lebih cepat dan meluas dukungannya. Selain aksi secara online juga aksi di lapangan baik berupa menggalang dukungan melalui media seni (musik, film, gambar), orasi atau demo.


EM: Apa film yang sedang dikerjakan sekarang?

P: Saat ini kami sedang mengerjakan project “The Ant and The Elephant” yang masih tentang Lakardowo. Film ini bakal menitikberatkan pada lanjutan cerita perjuangan warga Lakardowo di meja hijau. Dan bedanya dari film sebelumnya adalah penyajian film ini lebih personal dan intim. Saat ini kami sampai pada proses produksi. Kami sangat membuka lebar kerja sama dalam pembuatan film dokumenter terutama isu-isu lingkungan.