Travelling Proyektor yang seharusnya mengunjungi Cianjur sebagai kota kedua, harus mengubah haluannya. Host di Cianjur ternyata membatalkan waktu yang telah kami tentukan. Kami tidak akan membiarkan dua hari bolong tanpa pemutaran film. Akhirnya kami coba menghubungi Jatiwangi Art Factory di Desa Jatisura, Majalengka, untuk mengadakan pemutaran film. Tak ada satupun dari kami (aku dan Dhyta Caturani) yang pernah datang ke Jatiwangi Art Factory atau mengenal pengelolanya. Melalui seorang teman, akhirnya saya memperoleh kontaknya, dan memberanikan diri untuk mengajukan tawaran pemutaran film ini. Hal yang menarik, tanpa pikir panjang, Arief Yudi dari JAF langsung menerima ide pemutaran ini.
13 Mei 2014, kami pun langsung ubah haluan dan tancap gas ke Majalengka. Tiba pukul 16.00 sore, Teddy, pengelola JAF telah menunggu kedatangan kami. Tak perlu menunggu terlalu lama, teman-teman JAF langsung mempersiapkan layar, proyektor, dan bangku-bangku untuk penonton. Pemutaran film dilakukan di ruangan pameran yang berkapasitas sekitar 50 orang. Menjelang magrib, Arief Yudi, salah satu pendiri JAF menemui Engage Media.
“JAF berdiri tahun 2005. Saat itu kondisi desa ini begitu parah dengan perkelahian dan praktik kejahatan lainnya. Akhirnya kami mencoba mendirikan ruang kreatif dimana warga bisa mengekspresikan dirinya. Mereka banyak yang senang bermain musik. Di sini kita menanamkan kepercayaan diri, semangat, dan selanjutnya mereka akan mengembangkan dirinya dengan optimis,” ungkap Arief Yudi.
Di Jatiwangi Art Factory, Travelling Projector memutar 12 film dengan fokus pada tema buruh migran. Sekitar pukul 19.30, warga desa yang terdiri dari anak muda, orang tua, tokoh masyarakat seperti kepala desa dan camat pun mulai berdatangan. Kudapan martabak, gorengan dengan kopi dan tehh telah menyemarakkan suasana screening. Sebagai pembuka acara, Dhyta Caturani menjelaskan tentang Engage Media dan proyek Travelling Projector yang akan dilakukan di 11 kota di Jawa selama 18 hari.
Setelah menikmati pemutaran film sekitar 1 jam, maka dilanjutkan dengan obrolan yang menanggapi film-film tersebut. Penonton cukup antusias menanggapi film-film yang disajikan. “Menurut saya, seluruh persoalan dari film yang ditayangkan tidak jauh berbeda dengan persoalan yang dialami oleh komunitas-komunitas di Indonesia. Kami sudah merasakan persoalan tersebut, mungkinkah ada film-film yang menceritakan keberhasilan suatu komunitas dalam menyelesaikan masalahnya, sehingga komunitas lain bisa belajar dan memperoleh pengetahuan dalam menghadapi tantangan hidupnya,” ujar salah seorang penonton.
Kepala Desa Jatisura mengungkap hal yang juga menarik, “Pemutaran film dari berbagai komunitas ini sangat bagus untuk dikelilingkan agar masyarakat kita juga tidak merasa bahwa hanya dirinya yang menghadapi persoalan. Mereka bisa melihat bahwa banyak persoalan di berbagai komunitas ini, sehingga lahir kebersamaan dan solidaritas untuk bergerak,” ungkapnya. Seorang anak muda menanggapi bahwa film-film yang keluar langsung dari pernyataan komunitas ini harus diputarkan di kalangan anak sekolah, sehingga mereka tahu apa yang terjadi di luar masyarakatnya.
Seorang warga pun sangat terpompa emosinya melihat tayangan film “Payung Hitam” yang menggambarkan peristiwa tragedi Mei di Universitas Atmajaya. Menurutnya tayangan itu memang bisa melahirkan empati, tetapi negara Indonesia yang mandul secara hukum seringkali membuat masyarakat frustrasi.