Search
Close this search box.

Maria Goreti Bikin Penasaran di Malam Minggu

Siswa dan siswi di asrama putra santo Agustinus dan asrama Putri Santa Monica, yang di damping oleh beberapa biarawan-biarawati Ordo Santo Agustinus dan para pembina asrama memadati ruang belajar asrama putri Santa Monica. Ada yang duduk di kursi, ada juga yang berdiri.

“Kita hadir di ruangan ini untuk menyaksikan film documenter yang diproduksi oleh kawan-kawan kita di Jayapura dan Merauke. Tapi, ingat! Kita bukan hanya menonton saja dan pulang tidur. Kita diharapkan untuk setelah menonton, berdiskusi dan berefleksi tentang persoalan keadilan, perdamaian dan lingkungan hidup di tanah Papua”, ungkap Pater. Bernat Baru OSA membuka acara pemutaran dan diskusi film. Papuan Voices

Pemutaran film dimulai. Satu persatu film karya tim Papuan Voices di Jayapura dan Merauke diputar. Semua peserta tampak santai menonton. Suara tertawa dari para peserta pu terdengar ketika ada gambar “anak kecil pakai sepatu berjalan memasuki ruangan sekolah” dalam film “Harapan Anak Cendrawasi”. Bukan hanya itu saja. Para peserta juga tertawa ketika seorang bapak berkata “kelapa ini sekarang buahnya berwarna warni. Ada yang merah, kuning….” dalam film “Kelapa Berbuah Jerigen. Tapi, ada juga reaksi spontan dengan nada kritis dari para peserta ketika menonton film “Surat Cinta Kepada Sang Prada”. “Disini banyak kejadian seperti yang dialami oleh Maria”, ungkap salah satu peserta.

Setelah semua film Papuan Voices diputar, Januarius Lagowan, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Mahasiswa Katolik Cendrawasi Papua Santo. Albertus Agung, tampil ke depan ruangan dan memandu diskusi tentang film Papuan Voices dan kenyataan hidup warga masyarakat di Sorong.

Orang mudah sekarang harus mengetahui identitas diri dan potensi bakatnya, sehingga dapat menjadi pribadi yang menjadi rahmat bagi manusia dan alam di tanah Papua. Kita juga harus membuka mata hati kita untuk melihat dan tanggap terhadap persoalan yang terjadi di tanah Papua dengan menciptakan rasa solidaritas yang utuh dalam mempertahankan kearifan local tanpa terpengaruh dengan proses pembunuhan karakter dan mental masyarakat Papua akhir-akhir ini dengan berbagai kebijakan investasi yang kurang berpihak pada masyarakat adat. Demi kepentingan investor, pemerintah menindas dan mengorbankan masyarakat”, ungkap Januarius Lagowan.

Dalam memandu sesi diskusi, Januarius Lagowan didampingi oleh Fredy dari Komunitas Belantara di Sorong.

Diskusipun menjadi hangat ketika terungkap semua persoalan yang sering siswa-siswi ini rasakan dan lihat. Film-Film Papuan Voices terasa mengugat pikiran dan perasaan para peserta. Para peserta sangat penasaran dan tidak mau menyudai acara nonton dan diskusi film Papuan Voices ini, khususnya ketika mendiskusikan film “Surat Cinta Kepada Sang Prada”. Ada peserta yang sedih dengan perjuangan Ety sebagai korban kekerasan seksual dari Prajurit TNI – AD. Ada juga peserta yang marah dengan sikap Prada Samsul Bakri Baharudin yang mentelantarkan Ety dan anak mereka. (Yan Lagoan)