This post is also available in: English
Dalam beberapa tahun terakhir, aksi ujaran kebencian telah mengalami peningkatan di seluruh dunia. Hal ini difasilitasi oleh penggunaan teknologi digital. Untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak destruktif dari ujaran kebencian dan menginspirasi tindakan kolektif, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan 18 Juni sebagai Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian.
EngageMedia mendukung kampanye dua hari Association for Progressive Communications (APC) untuk menyoroti cara ujaran kebencian berdampak pada komunitas-komunitas paling rentan di Indonesia, dan apa yang dapat kita lakukan untuk melawannya. Kampanye ini bertujuan untuk mendorong percakapan seputar masalah di media sosial, dan berbagi temuan penelitian, sumber daya, serta konten lain yang mengeksplorasi topik lebih lanjut.
Tilik lebih jauh kampanye di sini. Pelajari cara mendukung kampanye #NoToHate dan #ChallengeHateOnline di sini.
Kampanye ini adalah bagian dari kolaborasi antara EngageMedia dan APC untuk proyek “Menantang narasi kebencian dan pelanggaran kebebasan beragama dan berekspresi online di Asia” (Challenge) project.
Hari 1: Dampak Ujaran Kebencian
Untuk mendukung kampanye #NoToHate dan #ChallengeHateOnline, EngageMedia menyoroti dampak dari ujaran kebencian pada kelompok rentan, terutama remaja dan kelompok agama yang diminoritisasi. Walaupun kedua kelompok ini dianggap sebagai kelompok yang rentan, ada perbedaan pengaruh terhadap keduanya. Kasus-kasus di Indonesia menunjukkan bahwa ujaran kebencian ditargetkan kepada anak muda seringkali berujung pada radikalisasi dengan menggunakan narasi-narasi ekstremis. Dengan menyudutkan penganut agama kepercayaan, narasi kebencian dapat memperpanjang minoritisasi. Kelompok ini tidak hanya dimarginalisasikan oleh kelompok agama lain, mereka juga menjadi sasaran peraturan diskriminatif, serta memiliki keterbatasan akses layanan publik.
Bekerja sama dengan rumah produksi ternama WatchDoc, kami meneliti perjuangan kelompok agama minoritas melalui film dokumenter berjudul Lara Beragama di Mayantara. Film dokumenter pendek ini mengisahkan kelompok agama leluhur Sapta Darma dan Aliran Kebatinan Perjalanan yang terus mengalami diskriminasi berbasis agama, meski telah diakui negara melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017, yang menyatakan bahwa penganut agama leluhur dapat mencantumkan keyakinannya di KTP.
EngageMedia berkolaborasi dengan KBR Prime, dengan berbincang bersama ahli dalam bidang terorisme Al Chaidar dan Leonard C. Epafras dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), mendiskusikan kerentanan remaja untuk direkrut ke dalam kelompok teroris, yang kerap termediasi oleh ruang daring seperti media sosial, aplikasi pesan, dan video daring. Podcast ini juga menyoroti pentingnya memahami proses radikalisasi, dengan membahas sebuah kasus di mana seorang gadis remaja pertama kali berinteraksi dengan narasi radikal daring melalui konten fesyen dan nerakhir dengan membawa 26 anggota keluarganya ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Kami kemudian membahas lebih lanjut cara melindungi pemuda Indonesia dari radikalisme dan ekstremisme secara daring.
Simak podcast ini di laman KBR Prime.
Hari 2: Cara Menentang Ujaran Kebencian
Dalam menanggapi ujaran kebencian, amatlah penting untuk meningkatkan kesadaran atas isu ini, mengerti mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi dan mencari ide sekreatif mungkin untuk melawan narasi kebencian. EngageMedia telah melakukan penelitian atas ujaran kebencian yang terkait dengan kebebasan beragama dan berkepercayaan (KBB) dan kebebasan ekspresi. Kami juga menyoroti karya komunitas dan seniman yang menunjukkan ketangguhan mereka terhadap narasi kebencian melalui ranah daring.
Bersama Diani Citra dari Sintesa Consulting, kami meneliti sejarah Indonesia, struktur sosial budaya, dan konteks politik lokal yang berkontribusi pada semakin umumnya pembatasan terhadap Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan selama meningkatnya proses digitalisasi dalam sepuluh tahun terakhir. Laporan yang berjudul “Atas Nama Kerukunan Beragama: Tantangan Memajukan Kebebasan Beragama dalam Transformasi Digital Indonesia” ini menyoroti kemampuan yang tidak setara dan hierarkis untuk menjalankan ekspresi keagamaan dan cara hukum yang dimaksudkan untuk melindungi kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama atau berkeyakinan justru memperkuat nilai-nilai mayoritarianisme yang berpusat pada norma-norma agama Islam.
Di dalam salah satu episode dari Pretty Good Podcast, kami berbicara dengan Noor Huda dari Kreasi Prasasti Perdamaian tentang karyanya dengan pemuda dan pekerja migran Indonesia dalam mengatasi radikalisme dan ekstremisme secara daring. Ia membahas adanya kebutuhan untuk memanfaatkan radikalisme dan ekstremisme dengan memahami prosesnya dan menawarkan keinginan untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas kepada kelompok yang paling rentan dengan menciptakan Ruangobrol dan RuangMigran. Dengarkan episode podcast dalam tautan ini.
Pada Pretty Good Podcast lainnya, seorang penulis dan seniman, Feby Indirani juga berbagi karyanya tentang menantang narasi kebencian melalui gerakan “Relax It’s Just Religion“. Ia berbagi pengalamannya membahas agama melalui lensa ‘magical Islamism’ melalui bukunya “Not Virgin Mary” and “Hunting for Muhammad“. Dengarkan episode podcast dalam tautan ini.
Kami mengundang rekan-rekan yang berada di Indonesia dan negara lain untuk turut andil dalam kampanye #NotoHate dan #ChallengeHateOnline juga menyebarkannya ke jejaring Anda.