Laporan terbaru mengenai Kebebasan Beragama di Indonesia: Masyarakat Sipil Harus Lebih Kritis Sikapi Intoleransi Daring

This post is also available in: English

Pesatnya digitalisasi membawa serta masalah kehidupan beragama di Indonesia. Penelitian berjudul “Atas Nama Kerukunan Beragama” mengamati kebebasan beragama termediasi teknologi digital dan dilakukan EngageMedia bersama Diani Citra dari Sintesa Consulting. Studi ini menunjukkan adanya kesewenangan aparat penegak hukum dan lepas tangannya platform media sosial, serta terdapat kelemahan masyarakat sipil dalam menyikapi isu intoleransi beragama.

Penelitian ini tersedia dalam bahasa Bahasa Indonesia dan Inggris.

DOWNLOAD THE REPORT

52.17% dari responden survei penelitian EngageMedia – mencakup kalangan akademisi, masyarakat sipil, pemerintah, komunitas agama, dan platform media sosial serta perusahaan teknologi informasi – meyakini bahwa organisasi masyarakat sipil (OMS) belum banyak berperan dalam kebebasan beragama. “Bahkan ada yang menyebut OMS justru mempertajam polarisasi beragama,” ujar Pradipa P. Rasidi, asisten peneliti sekaligus Digital Rights Program Officer EngageMedia.

Salah satu temuan utama penelitian EngageMedia menyoroti kurangnya ‘infrastruktur teologis’ humanistis yang bisa dibangun OMS bekerja sama dengan pemuka agama lokal. Ahli studi agama yang diwawancara dalam penelitian menilai OMS kerap sulit menjembatani dialog dengan pihak yang kurang akrab dengan prinsip hak asasi manusia, sementara tak ada ‘bahasa agama’ humanis yang mudah diterima.

“Akibatnya ruang ini diisi gerakan keagamaan yang kurang inklusif karena mereka menjawab kebutuhan praktis umat sehari-hari,” kata Pradipa. Gerakan intoleran selama 10 tahun terakhir aktif menggunakan media sosial, berinteraksi melalui budaya pop yang dekat dengan budaya konsumen urban, serta membuat video dan situs web yang kontennya menormalisasi eksklusivisme, Konten-konten tersebut dirancang agar mudah dicari khalayak luas. “Digitalisasi memudahkan umat beragama untuk melampaui pemuka agama konvensional,” paparnya.

Tambah lagi, algoritma platform media sosial kerap menyodorkan hanya konten senada dan mengamplifikasi konten provokatif yang biasanya ramai engagement. “Walaupun pada praktiknya orang punya agency untuk memaparkan diri terhadap konten berbeda dari yang biasa mereka lihat sehari-hari, mekanisme platform saat ini tidak memberikan insentif terhadap hal semacam itu,” tandas Pradipa. “Kalaupun orang terpapar dengan konten berpandangan berbeda, bisa jadi hanya dijadikan bahan cemoohan atau parodi saja.”

Fokus OMS terhadap pembangunan kerangka hukum, yang pada praktiknya ditegakkan secara arbitrer, justru menyebabkan luputnya perhatian terhadap bukan hanya ‘infrastruktur teologis’, tetapi juga mediasi sosial-budaya yang bisa jadi jalur alternatif memecah kebuntuan intoleransi.

Selain isu kurang sigapnya masyarakat sipil, secara lebih luas penelitian EngageMedia menyoroti tiga hal utama lainnya:

  1. Penegakan hukum yang ditujukan untuk melindungi kebebasan berekspresi serta kebebasan beragama dan berkeyakinan beroperasi dengan logika mayoritarianisme yang, utamanya–namun tidak selalu–menggunakan idiom Islam, yang justru menyebabkan eskalasi konflik beragama ke luar konteks lokal.
  2. Kegagalan penegak hukum bertindak sebagai institusi yang imparsial, terutama dalam konteks lokal, menyebabkan penganut agama minoritas harus mengalah demi menjaga ‘kerukunan’ bersama.
  3. Platform media sosial tidak bisa diminta pertanggungjawaban dalam isu intoleransi agama, sementara pemerintah pusat terus menuntut regulasi yang tersentralisasi. Padahal yang dibutuhkan adalah moderasi konten yang independen, serta pertanggungjawaban etis dari para insinyur yang mengembangkan algoritma agar tak mengamplifikasi konten intoleran.

EngageMedia mengamati bagaimana penganut minoritas terpaksa mengalah demi ‘kerukunan beragama’ akibat aparat penegak hukum yang imparsial, serta keengganan platform media sosial mengambil sikap dalam amplifikasi konten intoleran. Penelitian ini didasari pada wawancara dengan lima narasumber ahli studi agama, survei elektronik dengan 46 responden, serta kajian literatur akademis. Proses pengumpulan data dilakukan sepanjang Oktober hingga Desember 2021.

Diani Citra selaku peneliti utama menyebutkan tidak ada solusi sederhana dalam menjamin kebebasan beragama terutama bagi penganut agama minoritas. “Gejala intoleransi Islam memang mendesak, tapi butuh dialog serius antara aparatur negara, masyarakat sipil, dan perusahaan media sosial.“ demikian simpul pamungkasnya.

Peluncuran penelitian ini juga diikuti pemutaran dan diskusi film produksi Watchdoc bersama EngageMedia, Lara Beragama di Mayantara, yang diselenggarakan di GoetheHaus Jakarta. Film ini menyoroti hambatan yang dihadapi penganut agama leluhur (indigenous religion) dalam mengekspresikan agamanya baik secara daring maupun luring, serta harapan mereka dengan terbukanya ruang-ruang daring.

Hadir sebagai penanggap dalam acara ini adalah Leonard C. Epafras (ICRS), Muhammad Isnur (YLBHI), Sherly Haristya (Peneliti Independen), dan selaku moderator Lisa Elfena (Logos ID); serta Imam Ardhianto (Antropologi Universitas Indonesia), Muhamad Sridipo (WatchDoc), Dian Jennie Cahyawati (Puan Hayati), dan selaku moderator Sofia Setyorini (East Cinema ID).