This post is also available in: English
Bagian pertama dalam rangkaian tulisan tentang aspek geopolitik kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) dan artinya bagi Asia Tenggara. Bagian kedua dapat dibaca di sini.
Tulisan ini merupakan bagian dari upaya lebih luas EngageMedia untuk mendokumentasikan pengaruh AI terhadap Asia Tenggara, manfaat dan kegunaannya, maupun komplikasi dan bahayanya. Laporan terbaru kami tentang tata kelola AI bisa dibaca di sini.
Pengembangan kecerdasan buatan (AI) telah menjadi ajang persaingan antarnegara, dan pemenangnya diperkirakan akan memegang andil besar dalam menentukan dan menguasai masa depan, baik dari segi ekonomi maupun geopolitik. Dalam persaingan ini,1 Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok berada di peringkat teratas, dan kedua negara melaju dengan cepat memanfaatkan keunggulan bersaingnya masing-masing: AS memiliki perangkat keras, riset, dan pekerja terampil yang paling maju, sementara Tiongkok memiliki timbunan data siap pakai untuk AI yang mendorong perkembangan teknologi, serta kemauan politik (political will) yang kuat.2 Walaupun AS selama ini memimpin perkembangan dan inovasi teknologi dalam puluhan tahun terakhir, ekosistem teknologi Tiongkok diproyeksikan akan mengimbangi Silicon Valley pada tahun 2025 “dari segi dinamisme, inovasi, dan daya saing”.3
Tidak diragukan bahwa penguasaan kedua negara tersebut dalam sektor teknologi memiliki implikasi strategis bagi Asia Tenggara, yang secara dominan bergantung pada mengimpor dan menggunakan teknologi AI dari AS dan Tiongkok. Dalam bagian pertama seri yang terdiri dari dua bagian ini, kami akan menyoroti strategi yang digunakan Tiongkok dan AS untuk menegaskan penguasaannya atas ruang AI dan teknologi, serta potensi risiko dari masing-masing negara bagi dunia secara keseluruhan. (Bacaan terkait: Governance of Artificial Intelligence in Southeast Asia)
Kebangkitan Tiongkok
Beberapa ilmuwan menggambarkan Asia Tenggara sebagai medan pengujian dan gerbang ekspansi Tiongkok sebagai sebuah negara adidaya.4 Benar adanya bahwa Tiongkok semakin diperhitungkan oleh warga Asia Tenggara sebagai kekuatan ekonomi paling berpengaruh dalam kawasan dan juga, dalam taraf tertentu, paling berpengaruh secara politis dan strategis. Dalam survei 2021 ISEAS bertajuk The State of Southeast Asia, 76,3% dari 1,032 responden Asia Tenggara memandang Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar di kawasan (dibandingkan 7,4% yang memilih AS), sementara 49,1% memandang Tiongkok sebagai kekuatan politik dan strategis yang paling berpengaruh di kawasan (30,4% memilih AS). Responden yang memilih Tiongkok sebagai negara paling berpengaruh juga menyatakan merasa khawatir dengan kebangkitan Tiongkok (72,3% untuk bidang ekonomi dan 88,6% untuk bidang politik dan strategis).
Tiongkok memiliki sebuah strategi jangka panjang yang terkonsolidasi dan ditujukan untuk memperluas pengaruh globalnya. Pada tahun 2013, Xi Jinping mengumumkan Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative, BRI) adalah sebuah program infrastruktur internasional bernilai triliunan dolar yang mencakup hampir 140 negara. Portofolio luasnya terdiri dari berbagai proyek dalam beragam sektor, termasuk energi, transportasi, dan teknologi informasi. Pengamat politik mengatakan bahwa, meskipun Tiongkok menggambarkan BRI sebagai prakarsa kerja sama ekonomi untuk memacu pembangunan internasional, BRI juga membawa nilai strategis yang sangat berarti melalui pelabuhan dan infrastruktur transportasi lainnya.5
Lebih dari prasarana fisik, salah satu aspek penting dari BRI adalah jangkauannya ke dalam ruang digital melalui Jalur Sutra Digital (Digital Silk Road, DSR). Pada 2019, diperkirakan bahwa Tiongkok telah menanamkan modal sebesar 79 miliar dolar AS untuk proyek-proyek DSR.6 Sesuai penjelasan Profesor John Hemmings dari Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies di Hawaii, secara umum strategi DSR adalah menciptakan jalan bebas hambatan untuk informasi global dengan paket bundling teknologi Tiongkok yang terdiri dari kota pintar, pelabuhan pintar, perdagangan elektronik (e-commerce) dan mata uang digital, jaringan komunikasi, serta jaringan satelit, yang mengunci konsumen ke dalam ekosistem digital yang dibentuk dengan pengaruh kuat dari pemerintah Tiongkok.
Komponen-komponen utama DSR memiliki implikasi besar terhadap privasi data, keamanan nasional, politik luar negeri, dan pengaruh terhadap tata kelola global mayantara. Dengan memperluas infrastruktur fisik melalui teknologi 5G, kabel serat optik, dan pusat data masif, Tiongkok memperoleh keunggulan strategis dalam penguasaan lalu lintas data internasional. Penanaman modalnya dalam sistem navigasi satelit, AI, dan komputasi kuantum memiliki manfaat ekonomi dan militer yang signifikan. Tiongkok juga mendirikan zona-zona perdagangan bebas digital dan memperluas aplikasi pembayaran mobile-nya ke pasar-pasar internasional, khususnya di Asia Tenggara dan Asia Selatan, memperluas pengaruhnya terhadap kebijakan ekonomi dan luar negeri. Terakhir, keterlibatan aktif Tiongkok dalam berbagai forum internasional tentang tata kelola digital adalah bagian dari upayanya memajukan kedaulatan mayantaranya, yang bisa menghasilkan internet yang lebih tertutup dan lebih rentan terhadap pembatasan oleh pemerintah-pemerintah otoriter.
Foto oleh Shahadat Rahman dari Unsplash
Para pengamat kerap menyebut spionase dan keamanan siber sebagai kekhawatiran utama karena pemerintah Tiongkok akan memperoleh kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan mengeksploitasi secara real-time kumpulan-kumpulan data dari negara-negara penerima BRI. Ketergantungan terhadap infrastruktur komunikasi fisik juga memberikan Tiongkok kekuatan untuk mengendalikan, mengatur rute, dan mengganggu lalu lintas data internasional.7 Kendalinya yang luar biasa kuat atas aliran data global memberikan Tiongkok kekuatan tajam yang signifikan dan didefinisikan sebagai “penggunaan informasi yang menipu dengan tujuan permusuhan” melalui “manipulasi ide, persepsi politik, dan proses pemilihan” di negara-negara lain.8
Penggunaan teknologi dari Tiongkok juga dapat mengakibatkan norma, nilai, dan struktur tata pemerintahannya diimpor ke negara lain. Beberapa wadah pemikir (think tanks) dan cendekiawan telah memperingatkan tentang potensi “ekspor otoritarianisme”,9, “ekspor illiberalisme politik”,10 dan pendorongan “kapitalisme otoriter” secara global oleh Tiongkok.11 Sebuah laporan Freedom on the Net dari tahun 2018 menjabarkan berbagai cara Tiongkok memanfaatkan teknologi untuk mengendalikan penduduknya, seperti pengenalan wajah untuk menindas komunitas Uighur atau sistem “kredit sosial” untuk memantau dan mengatur perilaku masyarakat. Laporan yang sama memperingatkan bahwa “dunia membeli apa yang Tiongkok jual” dengan menggunakan infrastruktur telekomunikasi Tiongkok (38 negara dari 65 yang diamati di tahun 2018); teknologi pengintaian AI (18 negara); dan menghadiri seminar tentang media baru atau pengelolaan informasi yang diadakan oleh Tiongkok untuk elite media dan pejabat negara (36 negara).12
AS sebagai alternatif?
Keprihatinan terhadap Tiongkok mengarahkan pandangan kita ke AS, petahana adidaya yang biasanya dipandang sebagai kekuatan lebih bersahabat. Namun, kekhawatiran tentang tindakan Tiongkok yang melampaui batas juga berlaku bagi dan sangat beririsan dengan kasus penguasaan oleh AS. Selain itu, logika mendasar yang digunakan oleh Big Tech (kumpulan perusahaan teknologi raksasa dari AS) memiliki ancamannya tersendiri bagi masyarakat di seluruh dunia.
Mengenai pengintaian pemerintah, pada tahun 2013 pengungkapan fakta oleh Edward Snowden, pelapor yang pernah menjadi kontraktor untuk badan-badan intelijen AS, benar-benar membongkar betapa luas dan dalamnya kemampuan pengintaian global dan praktik spionase siber AS.13 Salah satu contoh yang sangat menekankan hal ini adalah program PRISM, yang secara rutin menjalankan pengumpulan massal data yang terdiri dari email, chat, video, dan foto dari perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft, Yahoo, Google, Facebook, PalTalk, YouTube, Skype, AOL, dan Apple.14 Programnya yang lain, XKeyscore, konon memberikan analis kemampuan untuk menelusuri data tentang “hampir segala hal yang dilakukan pengguna internet pada umumnya” dan menghalangi kegiatan daring real-time para individu yang menjadi sasaran.15
Berkas-berkas yang dibocorkan Snowden menunjukkan bahwa AS telah menggunakan pengintaiannya untuk tujuan-tujuan strategis. Meskipun pada saat itu pengungkapan ini mengguncang dunia, praktik pengumpulan intelijen tanpa pengawasan terus berlanjut. Pada tahun 2020, sebuah usulan amandemen legislasi USA PATRIOT Act gagal diloloskan oleh Senat AS, membiarkan pemerintah terus mengakses riwayat penelusuran web warga Amerika tanpa memerlukan surat perintah.16 Dengan hadirnya sistem pengintaian massal yang diotomatisasi oleh kecerdasan buatan dan penambangan data yang dipengaruhi algoritma, sebagian besar kekhawatiran tentang privasi masih belum terjawab.
Perbincangan tentang risiko geopolitik yang timbul jika Tiongkok menjadi yang paling unggul di bidang AI kerap menggambarkan perebutan kekuasaan antara AS dan Tiongkok sebagai perseteruan antara demokrasi liberal dan otoritarianisme digital.17 Namun demikian, dikotomi ini semakin sulit untuk dipertahankan dengan semakin terkikisnya reputasi AS sebagai pembela demokrasi, terutama setelah empat tahun pemerintahan Trump yang penuh gejolak, diakhiri pemberontakan penuh kekerasan yang dipicu oleh sang presiden sendiri. Pengamat dari seluruh penjuru dunia menyimak dengan penuh rasa was-was sembari media dan lingkungan daring yang terpolarisasi menciptakan dua versi realitas dalam masyarakat AS, dengan dua persepsi berbeda tentang sosok yang memenangkan pemilihan presiden AS tahun 2020. Disinformasi yang disebarkan oleh Donald Trump dan para sekutunya – yang semakin menguat berkat media sosial – membuat sebagian besar pendukung Partai Republik percaya bahwa pemilu telah dicurangi secara tidak adil untuk menguntungkan pemenang dari Partai Demokrat, Joseph Biden.18
Dapat dikatakan bahwa sebagian penyebab kekacauan yang terjadi di AS adalah logika bisnis perusahaan teknologi serta kebijakan dan arah pergerakannya, yang paling berpengaruh dalam membentuk lingkungan komunikasi daring.19 Pengintaian oleh perusahaan dalam lingkungan komunikasi tersebut dijalankan berdasarkan etos dan arahan dari sistem yang disebut oleh Shoshana Zuboff sebagai ‘kapitalisme pengintaian’. Perusahaan bertumpu pada pengintaian kegiatan pengguna untuk memprediksi perilaku masa depannya demi membentuk mereka. Engagement pengguna yang berkelanjutan berarti lebih banyak data yang dapat dikumpulkan dan lebih akurat prediksi yang dapat dibuatnya; hal ini mengakibatkan kebangkitan ekonomi perhatian (attention economy), yang bertumpu pada cara platform – khususnya media sosial – dirancang untuk menjadi candu, dan algoritma AI memprioritaskan berita sensasional dan diskusi terpolarisasi karena sifatnya yang menarik perhatian. Bagi platform, sistem ini berimbal siklus manfaat: pengalaman pengguna yang lebih baik dan efek jejaring berhasil menarik dan mengunci pengguna dalam jumlah besar, menciptakan monopoli virtual dan pemusatan kekuasaan di tangan platform-platform teknologi ini.
Dalam bagian kedua rangkaian tulisan ini, kami menjawab pertanyaan tentang posisi Asia Tenggara di antara kedua negara adidaya ini, serta implikasi persaingan teknologi ini terhadap kawasan.
1 https://www.ifri.org/sites/default/files/atoms/files/seaman_china_standardization_2020.pdf
2 https://www.eurasiagroup.net/files/upload/China_Embraces_AI.pdf
3 https://macropolo.org/analysis/china-technology-forecast-2025-fragile-tech-superpower/
4 (Stromseth, 2019)
5 (Russel & Berger, 2020)
6 (Russel & Berger, 2020)
7 (Hemmings, 2020)
8 (Cheney, 2019), p.18
9 (Hillman & McCalpin, 2019)
10 (Cheney, 2019)
11 https://www.cfr.org/blog/yes-virginia-china-exporting-its-model
12 https://freedomhouse.org/sites/default/files/2020-02/10192018_FOTN_2018_Final_Booklet.pdf
13 https://edwardsnowden.com/revelations/
14 https://edwardsnowden.com/revelations/#prism-an-nsa-partnership-with-us-service-providers
15 https://www.theguardian.com/world/2013/jul/31/nsa-top-secret-program-online-data
16 https://www.vox.com/recode/2020/5/13/21257481/wyden-freedom-patriot-act-amendment-mcconnell
17 https://www.foreignaffairs.com/articles/world/2018-07-10/how-artificial-intelligence-will-reshape-global-order
18 https://www.nbcnews.com/politics/meet-the-press/blog/meet-press-blog-latest-news-analysis-data-driving-political-discussion-n988541/ncrd1261306#blogHeader
19 https://www.newamerica.org/oti/reports/getting-to-the-source-of-infodemics-its-the-business-model/executive-summary/
Tentang Penulis
Dr. Jun-E Tan adalah seorang peneliti kebijakan independen dari Kuala Lumpur. Ketertarikan penelitian dan advokasinya secara luas berkisar di bidang komunikasi digital, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan. Jun-E telah menerbitkan banyak karya tulis tentang hak digital dan tata kelola AI dalam konteks Asia Tenggara, juga terlibat dalam banyak forum internasional dan nasional tentang topik-topik tersebut. Informasi lebih lanjut tentang karyanya dapat ditemukan di situs web pribadinya jun-etan.com.
Referensi
Cheney, C. (2019). China’s Digital Silk Road: Strategic Technological Competition and Exporting Political Illiberalism (Working Paper No. 8; Issues & Insights). Pacific Forum. https://pacforum.org/wp-content/uploads/2019/08/issuesinsights_Vol19-WP8FINAL.pdf
Hemmings, J. (2020). Reconstructing Order: The Geopolitical Risks in China’s Digital Silk Road. Asia Policy, 27(1), 5–21. https://doi.org/10.1353/asp.2020.0002
Hillman, J. E., & McCalpin, M. (2019). Watching Huawei’s “Safe Cities” [CSIS Briefs]. Center for Strategic and International Studies. https://www.csis.org/analysis/watching-huaweis-safe-cities
Russel, D. R., & Berger, B. H. (2020). Weaponizing the Belt and Road Initiative (p. http://asiasociety.org/weaponizing-belt-and-road-initiative). Asia Society Policy Institute.
Stromseth, J. (2019). The testing ground: China’s rising influence in Southeast Asia and regional responses. Brookings. https://www.brookings.edu/research/the-testing-ground-chinas-rising-influence-in-southeast-asia-and-regional-responses/