This post is also available in:
English
Bagian kedua dari rangkaian tulisan tentang aspek geopolitik kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) dan artinya bagi Asia Tenggara. Bagian pertama dapat dibaca di sini.
Tulisan ini merupakan bagian dari upaya lebih luas EngageMedia untuk mendokumentasikan pengaruh AI terhadap Asia Tenggara, manfaat dan kegunaannya, maupun komplikasi dan bahayanya. Laporan terbaru kami tentang tata kelola AI bisa dibaca di sini.
Negara-negara Asia Tenggara memiliki tingkat berbeda-beda dalam kesiapan AI, atau kesiapan dan kapasitas mengembangkan dan memanfaatkan teknologi AI untuk menciptakan perubahan. Kawasan ini utamanya berperan sebagai pemakai teknologi yang diimpor dari dua negara di peringkat puncak persaingan AI: Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).
Pernah dikatakan bahwa persaingan AI ini dapat mengakibatkan terbelahnya pengembangan AI secara global, karena Tiongkok dan AS mengembangkan standar dan ekosistem yang berbeda dalam infrastruktur teknologinya, seperti jaringan 5G.1 Di satu sisi, keterbelahan ini dapat mengancam evolusi teknologi dan kerja sama internasional; di sisi lain, ia dapat menciptakan keberagaman, mendukung inovasi, dan menanamkan checks and balances melalui desentralisasi kekuatan.2
Asia Tenggara perlu memikirkan implikasi strategis dari kebangkitan Tiongkok dan berlanjutnya dominasi AS di lingkup AI, serta teknologi kedua negara yang bergerak tidak beriringan. Dalam bagian terakhir seri yang terdiri dari dua bagian ini, kami akan menilik arti dari persaingan teknologi AS-Tiongkok bagi kawasan ini. Apa saja implikasinya jika memilih teknologi salah satu negara ketimbang yang lainnya? Apakah negara-negara Asia Tenggara akan menghadapi masalah yang berhubungan dengan kolonialisme digital dan kedaulatan nasional?
Melampaui lensa kolonialisme data
Beberapa ilmuwan memandang permasalahan ini dengan lensa teoretis kolonialisme digital atau data untuk menganalisis posisi negara-negara Selatan (Global South) dalam diskursus geopolitik, mencatat berbagai cara algoritma dapat digunakan untuk menindas, mengeksploitasi, dan merampas kepemilikan kaum rentan.3,4 Namun demikian, pakar dan akademisi AI yang diwawancara dalam penelitian EngageMedia tentang tata kelola AI di kawasan tidak tertarik dengan lensa kolonialisme data sebagai kerangka analisis yang mencakup situasi Asia Tenggara secara menyeluruh. Meskipun secara garis besar hasil ekstraktifnya serupa, memusatkan perhatian pada isu kedaulatan nasional mengalihkan kita dari memandang isu AI secara holistik sebagai interaksi rumit antara kekuatan negara dan pasar yang bekerja sama sekaligus berlawanan dengan satu sama lain.5
Walaupun diakui bahwa sebagian besar data mengalir ke Tiongkok dan AS, dan bahwa ketergantungan kawasan Asia Tenggara terhadap teknologi dari kedua negara adidaya di bidang AI dapat merugikan negara-negara dan rakyatnya, beberapa pakar yang kami wawancarai menyatakan bahwa eksploitasi data tetap akan terjadi dengan atau tanpa keterlibatan perusahaan asing karena kelemahan atau kekosongan peraturan perlindungan data Asia Tenggara. Kerugian dari penyalahgunaan dan penyelewengan data tetap akan timbul meskipun dengan aktor setempat. Oleh karena itu, lebih penting untuk memusatkan perhatian pada landasan peraturan dan kebijakan lokal yang kuat agar perlindungan data dan pemanfaatan teknologi tidak hanya bergantung pada etika dan niat baik pemilik teknologi tersebut — terlepas dari negara asalnya.
Seorang responden juga berargumen menentang lokalisasi data (pembatasan aliran data lintas perbatasan), beralasan bahwa pengendalian data yang lebih lokal tidak serta-merta lebih baik. Dari perspektif perlindungan data, kedaulatan atas data perlu diperhitungkan pada tingkat lebih mikro dari tingkat nasional, contohnya pada tataran individu atau komunitas atas kepemilikan datanya.
Kepentingan negara menjadi pertimbangan terdepan
Tidak kalah penting untuk mengakui bahwa negara-negara Asia Tenggara memiliki keagenan untuk memilih teknologi yang digunakannya dan bernegosiasi untuk mendapatkan tawaran yang lebih menguntungkan. Beberapa responden menyinggung hal ini saat ditanya tentang implikasi persaingan teknologi AS-Tiongkok, dan menyebutkan bahwa negara-negara Asia Tenggara akan memilih yang terbaik bagi negara itu sendiri, baik dari segi harga, kegunaan, maupun sudut pandang strategis.
Contohnya, sebuah studi kasus tentang kegiatan Alibaba di Malaysia (termasuk di dalamnya sebuah Zona Perdagangan Bebas Digital dan program kota-kota pintar Alibaba, City Brain) berargumentasi bahwa Malaysia meraup manfaat ekonomi dan infrastruktur nyata melalui kerja samanya dengan Alibaba, terlepas dari kekhawatiran geopolitik atau privasi yang ada. Kesimpulan akhir dari studi tersebut adalah bahwa negara-negara lain “sangat perlu bermain dengan lebih berkualitas di Asia Tenggara” dan bahwa “menentang inisiatif yang dikuasai pemerintah Tiongkok dan Jalur Sutra Digital (Digital Silk Road, DSR) adalah strategi yang tidak memadai”.6
Penelitian ISEAS tentang adopsi jaringan 5G di kawasan menunjukkan bahwa negara-negara Asia Tenggara menunjukkan tingkat kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tiongkok (Laos dan Kamboja memiliki kecenderungan tertinggi memilih penyedia layanan Tiongkok, sementara Filipina, Vietnam, dan Singapura memiliki kecenderungan terendah). Walaupun kepercayaan terhadap Tiongkok meningkat di tahun 2019, penyedia layanan telekomunikasi di kawasan tampaknya telah melakukan diversifikasi pilihan vendor di tahun 2020, menyusul pembatasan teknologi Tiongkok oleh AS yang menarik banyak perhatian. Pada saat ini, Nokia (Finlandia) dan Ericsson (Swedia), serta Huawei dan ZTE (keduanya Tiongkok) adalah pemain-pemain terbesar dalam lanskap 5G Asia Tenggara. Sementara itu, keberadaan perusahaan AS (Altiostar, Cisco, dan Qualcomm) tidak signifikan.7
Dalam jangka pendek, persaingan antara AS dan Tiongkok di kawasan justru dapat meningkatkan daya tawar negara-negara Asia Tenggara untuk mendapatkan tawaran yang lebih menguntungkan dari biasanya dan menyediakan lebih banyak pilihan untuk mengimbangi kepentingannya masing-masing. Namun, dalam jangka panjang, terbelahnya teknologi, standar, dan norma Tiongkok dan AS bisa jadi mengarah ke keruntuhan multilateralisme. Hal ini bisa mempersulit negara-negara lebih lemah karena mereka tidak memiliki kemampuan negosiasi atau penegakan aturan yang dimiliki suatu blok. Ditambah lagi, hal ini juga menggagalkan upaya internasional mengembangkan norma-norma bersama untuk kemudian diturunkan menjadi peraturan setempat.8
Negara-negara Asia Tenggara perlu menemukan cara untuk mengenali dan mengatasi beberapa kelemahan yang melekat padanya dan tantangan yang menyandung kapasitasnya untuk merencanakan dan mendukung adopsi teknologi AI. Hal ini akan membantu tiap negara Asia Tenggara meraup manfaat AI sesuai dengan kehendaknya sendiri dan menemukan tempatnya dalam ekosistem AI yang didominasi dua negara adidaya.
1 (Cheney, 2019)
2 (Feijóo et al., 2020)
3 (Mohamed et al., 2020)
4 (Couldry & Mejias, 2019)
5 Karya ilmiah yang dikutip juga tidak memusatkan perhatian pada kedaulatan nasional, menyatakan bahwa negara-negara Selatan semestinya tidak dimaknai secara geografis melainkan berdasarkan populasi rentannya. Namun, para responden umumnya memaknai ‘kolonialisme’ sebagai pengerahan kekuatan oleh satu negara terhadap negara lainnya, menyiratkan niatan pelakunya untuk melanggar kedaulatan negara lain.
6 (Naughton, 2020)
7 https://www.iseas.edu.sg/wp-content/uploads/2020/11/ISEAS_Perspective_2020_130.pdf
8 Dari data wawancara
Tentang Penulis
Dr. Jun-E Tan adalah seorang peneliti kebijakan independen dari Kuala Lumpur. Ketertarikan penelitian dan advokasinya secara luas berkisar di bidang komunikasi digital, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan. Jun-E telah menerbitkan banyak karya tulis tentang hak digital dan tata kelola AI dalam konteks Asia Tenggara, juga terlibat dalam banyak forum internasional dan nasional tentang topik-topik tersebut. Informasi lebih lanjut tentang karyanya dapat ditemukan di situs web pribadinya jun-etan.com.
Referensi
Cheney, C. (2019). China’s Digital Silk Road: Strategic Technological Competition and Exporting Political Illiberalism (Working Paper No. 8; Issues & Insights). Pacific Forum. https://pacforum.org/wp-content/uploads/2019/08/issuesinsights_Vol19-WP8FINAL.pdf
Couldry, N., & Mejias, U. A. (2019). Data Colonialism: Rethinking Big Data’s Relation to the Contemporary Subject. Television & New Media, 20(4), 336–349. https://doi.org/10.1177/1527476418796632
Feijóo, C., Kwon, Y., Bauer, J. M., Bohlin, E., Howell, B., Jain, R., Potgieter, P., Vu, K., Whalley, J., & Xia, J. (2020). Harnessing artificial intelligence (AI) to increase wellbeing for all: The case for a new technology diplomacy. Telecommunications Policy, 44(6), 101988. https://doi.org/10.1016/j.telpol.2020.101988
Mohamed, S., Png, M.-T., & Isaac, W. (2020). Decolonial AI: Decolonial Theory as Sociotechnical Foresight in Artificial Intelligence. Philosophy & Technology. https://doi.org/10.1007/s13347-020-00405-8
Naughton, B. (2020). Chinese Industrial Policy and the Digital Silk Road: The Case of Alibaba in Malaysia. Asia Policy, 27(1), 23–39. https://doi.org/10.1353/asp.2020.0006