This post is also available in: English ไทย Myanmar Khmer

Keresahan atas otoritarianisme digital dan semakin terbatasnya kebebasan internet menjadi poin utama diskusi organisasi masyarakat sipil dan pejuang hak yang bergabung dalam acara solidaritas di Bangkok pada 14 Januari 2023 silam, atau hari ke-3 Asia-Pacific Digital Rights Forum.
EngageMedia bermitra dengan Asia Centre dalam menggelar acara ini. Peserta yang turut hadir mewakili beberapa organisasi seperti iLaw, Manushya Foundation, Human Rights Lawyers Association, Internews, East-West Management Institute – Open Development Initiative, RECOFTC, Asian Institute of Technology, Yokosuka Council on Asia Pacific Studies, dan Virtue Research.
Acara solidaritas di Bangkok adalah satu dari lima acara tatap muka paralel, yang juga diadakan di Dhaka, Jakarta, Kuala Lumpur, and Manila. EngageMedia mengundang agen perubahan untuk melanjutkan diskusi ini melalui Forum.EngageMedia.org/Discuss.

Demokrasi, otoritarianisme digital, dan pemilihan umum
Acara solidaritas ini mendiskusikan kondisi kebebasan internet di Thailand dan Asia Tenggara, serta pemutaran beberapa film pilihan Tech Tales terkait pelanggaran hak digital di Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Indonesia.
Dalam sesi pagi hari, Dr. James Gomez, Dr. Marc Piñol Rovira, Korbkusol Neelapaichit dari Asia Centre dan Saittawut (Matt) Yutthaworakoolare menggambarkan situasi kebebasan internet di Asia Tenggara dan Thailand, yang dilanjutkan pula dengan roundtable discussion .
Peserta saling berbagi hasil pemikiran tentang pergeseran yang semakin terlihat menuju otoritarianisme digital di Thailand. Banyak yang mengungkapkan keresahan terhadap penggunaan langkah hukum dan non-hukum untuk membatasi kebebasan berbicara dengan dalih membela keamanan nasional. Namun sejumlah peraturan seperti , Undang-Undang Kejahatan Komputer yang penuh kontroversi, tidak memberikan kejelasan dan justru digunakan penguasa untuk membungkam suara kritis. Isu ini semakin tepat untuk dibahas dengan jadwal pemilihan umum Thailand tahun ini yang semakin dekat. Menurut para peserta, pejabat pemerintahan sudah mulai memberikan tekanan lebih terhadap suara oposisi. Walaupun semestinya pemilihan menjadi praktik nyata demokrasi, dikhawatirkan bahwa alat pembatasan dan disinformasi di media sosial akan menyulut perpecahan di antara pemilih.
Dalam acara ini pendiri Data and Society, Danah Boyd, membagikan pemikirannya tentang agnotologi atau ilmu tentang ketidaktahuan, menyoroti bentuk ketidaktahuan tertentu yang timbul dari hilangnya informasi atau pengetahuan, atau saat terjadi polusi strategis informasi untuk mempersulit orang menentukan mana yang nyata dan bukan. Dalam kasus Thailand, kekuatan politik dan sistem hukum membentuk penggunaan teknologi untuk memaksakan kekuasaannya dan mengendalikan ujaran dan pengetahuan.
Menyadari ancaman yang ada, para peserta menegaskan perlunya kolaborasi lintas sektor untuk menanggulangi isu-isu ini sebelum pemilihan diadakan. “Diskusi mendalami pentingnya transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah dengan mencegah persebaran disinformasi dan alat represif,” ujar Prapasiri “Nan” Suttisome Digital Rights Project Officer dari EngageMedia untuk Thailand.
Suttisome menambahkan bahwa ruang-ruang seperti acara solidaritas ini di Bangkok hadir di saat yang kritis bagi agen perubahan di Thailand. “Acara solidaritas Asia-Pacific Digital Rights Forum yang digelar di Bangkok memberikan forum yang penting untuk diskusi tentang isu mendesak otoritarianisme digital dan keharusan memperkuat gerakan hak digital.”