Artikel ini ditulis oleh Shaleh Al Ghifari, pengacara publik
Secara resmi, pemerintah Indonesia telah menuntaskan proyek yang diklaim sebagai “dekolonisasi” hukum pidana. Pada Januari 2026 aturan ini akan efektif diberlakukan. Sebagaimana dinyana, beleid ini masih menyisakan sejumlah masalah krusial hingga akhirnya disahkan.
Dalam tulisan ini akan digunakan istilah “KUHP baru” untuk merujuk pada KUHP baru yang disahkan melalui UU No. 1 Tahun 2023, sebaliknya istilah “KUHP lama” akan digunakan untuk merujuk pada KUHP lama (Wetboek van strafrecht voor Nederlandsch-Indië) yang disahkan dengan UU No. 1 Tahun 1946. KUHP baru dibagi menjadi 2 bagian, bagian pertama mengatur tentang ketentuan umum, sedangkan bagian kedua terkait dengan pengaturan tindak pidana. Aturan mengenai pembagian tindak pidana dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran dihapuskan dalam KUHP baru ini.
Sebelum KUHP baru ini efektif, perlu bagi kita untuk menyigi ulang sejumlah ketentuan yang bermasalah yang masih tersisa. Tanpa bermaksud mengenyampingkan kajian ataupun pandangan lain dari berbagai pihak, setidaknya menurut penulis masih terdapat 13 pasal-pasal problematis yang akan dibahas dalam tulisan ini.
1. Pasal Mengenai Menyerang Pemerintah dan Lembaga Negara, serta Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 218 dan 219 KUHP baru ini menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang bernuansa lèse-majesté, yang saat itu diadakan untuk melindungi kehormatan kepala negara di negara yang bersistem monarki. KUHP lama menerapkan ini karena disadur begitu saja dari KUHP Kerajaan Belanda. Ironisnya, melalui Putusan MK Nomor 13-22/PUU-IV/2006 pasal ini telah dibatalkan dan dihapuskan dari KUHP lama karena dianggap tidak demokratis untuk diterapkan di Indonesia.
KUHP baru menggunakan istilah “penyerangan terhadap harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden”, namun pada bagian penjelasan tetap sama dengan penghinaan, yaitu perbuatan “merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.”
Kedua pasal ini kemudian diperluas dengan keberadaan Pasal 240 dan 241 yang mencangkup penghinaan terhadap lembaga negara yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi, juga dapat dipidana.
Ketidaktepatgunaan pasal ini pada dasarnya keliru. Karena baik presiden, wakil presiden, menteri-menteri ataupun MPR, DPR dan seterusnya itu, adalah organ pemerintahan dalam arti luas dan bukanlah individu. Pun ketika mereka dikritik atau dihujat oleh masyarakat, adalah semata-mata karena posisinya sebagai pejabat publik. Seandainya pula merasa terhina sebagai individu, langkah-langkah hukum sipil masih tersedia begitu luas di pengadilan. Bukan menggunakan mekanisme peradilan pidana yang ongkosnya diambil dari pajak publik dan yang prioritasnya untuk memberantas kejahatan-kejahatan serius yang berhubungan dengan keamanan dan ketertiban kehidupan bermasyarakat. Menghidupkan kembali pasal-pasal ini melalui KUHP baru jelas bertentangan dengan jaminan kebebasan berpendapat dan kesetaraan di depan hukum yang dilindungi oleh UUD 1945. Tanpa adanya pasal inipun budaya punitif aparat terhadap ekspresi kritik warga terhadap Presiden sudah sangat tidak masuk akal dan memprihatinkan.
2. Pasal mengenai larangan pawai dan unjuk rasa tanpa pemberitahuan.
Jatuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru melahirkan jaminan ruang kehidupan demokrasi yang lebih luas lewat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi baik berbentuk unjuk rasa dan pawai diakui sebagai suatu bentuk “kemerdekaan” dalam undang-undang ini sehingga, “pemberitahuan” kedudukannya adalah sebagai sebuah mekanisme administrasi belaka. Hal ini bertujuan untuk menginformasikan aparat penegak hukum, yakni polisi, untuk bisa memberikan pengamanan yang memadai bagi pengunjuk rasa. Dalam Pasal 256 KUHP baru, pengunjuk rasa diwajibkan memberitahukan aparat jika tidak ingin dipidana. Pun tidak jarang ditemui kasus-kasus di mana masyarakat berusaha melakukan unjuk rasa dan sudah diberitahukan pula kepada aparat, tetapi polisi enggan mengeluarkan bukti pemberitahuan. Hadirnya pasal ini semakin melanggengkan praktik pembungkaman atas kebebasan berkumpul dan berpendapat warga negara, yang merupakan salah satu prasyarat utama kebebasan sipil dalam negara demokrasi modern.
3. Pasal mengenai penodaan agama dan pemurtadan
Perubahan dalam pasal-pasal tindak pidana agama yang diatur dalam Bab VII Pasal 300-305 pada KUHP baru telah menyetarakan kedudukan agama dan kepercayaan, yang sebelumnya kepercayaan dianggap lebih rendah dari agama. Sayangnya, pasal tersebut masih memasukkan pasal penodaan terhadap agama pada pasal 300 & 301. Padahal, alih-alih memposisikan agama sebagai objek yang dilindungi oleh hukum pidana, negara seharusnya fokus melindungi umat beragamanya. Perspektif pengaturan hukum pidana terkait kehidupan beragama ini disebut dengan kejahatan terhadap toleransi (crime against tolerance).
Selain itu, KUHP baru pada Pasal 302 mengenalkan pidana pemurtadan (apostasy). Ancaman penjara 4 tahun diberikan bagi setiap orang yang dikualifikasi melakukan penghasutan pemurtadan. Rumusan ‘penghasutan’ juga sangat luas/karet: “Yang dimaksud dengan “menghasut” adalah mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu.”
Pemerintah mengakui bahwa persoalan intoleransi masih menjadi masalah yang pelik di negeri ini. Tidak hanya soal kekerasan brutal seperti terorisme, persekusi dan diskriminasi berbasis agama juga masih mengakar. Setara mencatat, dari 846 kasus pelanggaran kebebasan beragama pada tahun 2022, 613 nya dilakukan oleh aktor non negara, yakni ormas dan warga.
4. Pasal mengenai Pidana pornografi, Kesusilaan & invasi ranah privat warga negara
KUHP Baru berniat mengkodifikasikan pasal-pasal pidana yang selama ini eksis pada Undang-Undang tersendiri ke dalam KUHP. Salah satunya pornografi. Pasal 172 KUHP baru mendefinisikan Pornografi yang persis disadur dari Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Selain itu, dalam Pasal 406 juga terdapat pidana “melanggar kesusilaan di muka umum” yang dalam penjelasannya disebutkan “perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.”
Secara gamblang, pasal ini memungkinkan persekusi berdasarkan nilai-nilai yang hanya disepakati mayoritas. Populisme dan tendensi diskriminasi mendorong aparat untuk menerapkan pasal-pasal ini secara eksesif. Makna pornografi “cabul” dan “di depan umum” tak jarang ditarik lebar-lebar. Rangkaian pasal ini lah yang selama ini mengkriminalisasi kelompok minoritas yang terjadi dilingkup privat. Selanjutnya Pasal 411-412 tentang perzinahan dan kohabitasi yang mengkriminalisasi hubungan seksual warga negara meskipun tidak terikat pernikahan, sudah jauh meninggalkan maksud pasal perzinahan dalam KUHP lama yang dititikberatkan untuk melindungi lembaga perkawinan. Memberi wewenang aparat mengurusi paling privat individu “is simply way too much.” Tidakkah penegak hukum sudah kewalahan dengan banyak kejahatan-kejahatan yang genting untuk ditumpas dengan uang pembayar pajak? Meskipun penuntutan pasal ini hanya akan bisa dilakukan atas pengaduan anak atau orang tua, secara sosiologis pasal ini akan menjustifikasi persekusi-persekusi dan tindakan main hakim sendiri yang selama ini masih kewalahan untuk ditertibkan aparat.
5. Pidana aborsi dan menunjukkan alat kontrasepsi
Kriminalisasi aborsi yang diatur dalam Pasal 463-465 adalah salah satu ambisi pemidanaan KUHP baru yang sangat meresahkan. Banyak data menunjukkan kriminalisasi aborsi hanya akan memperpanjang dan meningkatkan praktik unsafe abortion (aborsi yang tidak aman). Selain melekatnya stigma dan diskriminasi pada konteks ini, meskipun ada pengecualian terhadap korban perkosaan dan kekerasan seksual, ini masih dipandang sangat limitatif. Pasalnya, kehamilan yang tidak diharapkan (unintended pregnancy) tidak hanya terjadi oleh sebab-sebab yang dikecualikan tersebut. Data menunjukkan sebanyak 2.820.000 unintended pregnancy terjadi dalam kurun 2015-2019 di mana 1.770.000 diantaranya berakhir dengan aborsi. Kita tidak dapat membayangkan berapa banyak jumlah kematian yang akan terjadi akibat unsafe abortion bila pasal ini diberlakukan.
Serupa ini pula, Pasal 408-410 yang mengkriminalisasi tindakan menunjukkan alat kontrasepsi kepada anak, secara terang-terangan memidana hak perempuan untuk mendapatkan kesehatan seksual dan reproduksi. Akibatnya akan semakin tinggi angka kehamilan remaja dan kematian ibu hamil. Pengecualian tindakan ini hanya boleh dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga yang diberi izin untuk itu, membuat upaya pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistis dan birokratis dan akan melumpuhkan inisiatif-inisiatif dan kerelawanan publik untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi.
6. Pidana menjual atau memberikan minuman beralkohol
Ketentuan Pasal 424 KUHP baru yang berbunyi “Setiap Orang yang menjual atau memberi minuman atau bahan yang memabukkan kepada orang yang sedang dalam keadaan mabuk, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (10 juta)” adalah salah satu pasal yang cukup absurd dalam KUHP baru. Tidak ada unsur tegas dalam pasal ini yang mengetatkan pidananya untuk menyasar mereka yang secara ilegal meraup keuntungan dengan menjual alkohol. Mungkin pemerintah berfikiran akan memasukkan dalam RUU Minuman Alkohol sebagaimana draft yang beredar. Mencekoki orang dengan alkohol tentu bukan perbuatan terpuji, tetapi mengancam perbuatan tersebut dengan pidana 1 tahun tentu berlebihan. Apalagi untuk orang yang menjual, mereka yang menjadi bartender misalnya, tentu tidak punya kuasa untuk menolak melayani orang yang membeli dagangannya.
7. Pidana makar masih menyisakan tafsir yang karet
Pasal 160 KUHP baru masih belum mendefinisikan apa yang disebut dengan makar itu sendiri. Sebagaimana para akademisi, pemerhati, dan praktisi mengingatkan bahwa pada KUHP lama problem penerjemahan frasa makar yang berasal dari kata aanslag dalam Pasal 92-94 KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht) tidak diterjemahkan dengan tepat sebagai (“assault/onslaught”). Misal dalam Bahasa Inggris, lebih menekankan terwujudnya kekerasan/serangan fisik dari tindakan yang dilarang tersebut. Karena inilah sempat ada gugatan dari masyarakat sipil untuk menerjemahkan KUHP Belanda tersebut secara resmi dahulu sebelum pembahasan KUHP baru dilanjutkan. Saat ini makar diartikan sebagai “Makar adalah niat untuk melakukan serangan yang telah diwujudkan dengan persiapan perbuatan tersebut.”
Mengingat dalam Bab V KUHP tentang Pengertian Istilah tidak memuat definisi serangan, seandainya kata serangan tidak diregangkan menjadi senafas dengan arti penghinaan sebagaimana diintrodusir Pasal 218 dan 2019 KUHP baru maka seharusnya –selain soal masih mengancamkan pidana mati– Pasal ini tidak menjadi hal yang mengkhawatirkan. Presedennya, kekhawatiran itu muncul karena selama ini penerapan pasal ini sangat longgar dalam penafsiran sehingga berujung banyak kasus-kasus overkill pemidanaan bagi sekelompok masyarakat yang tidak sejalan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah atau berbeda pandangan politik. Bahkan tindakan-tindakan berupa pengibaran bendera dan beribadah di lingkungan yang dianggap sebagai gerakan separatis, dapat dikenakan pasal ini. Tidak satu pun dari perbuatan-perbuatan tersebut yang memenuhi kriteria tindakan yang dapat mengancam keamanan negara sebagaimana maksud asli dari pengaturan pasal-pasal ini di KUHP Belanda. Ditambah lagi terdapat problem kecenderungan penggunaan tafsir di kamus bahasa umum (KBBI) yang juga tidak memadai mendefinisikan hal ini, sebagai acuan penerapan pada praktek. Dalam KBBI Makar diartikan sebagai: 1 akal busuk; tipu muslihat; 2 perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya; 3. perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Pengertian yang ke-3 ini paling banyak digunakan.
Sebagai tindak pidana yang bisa dipidana hanya berdasarkan permulaan persiapannya saja, kegagalan mendefinisikan makar akan membuka lebar jurang menganga. Bukan tidak mungkin akan terus menelan siapa saja yang tidak sependapat dengan pemerintah, namun diframing sedemikian rupa seolah-olah pengkhianat (act of treason). Padahal, ekspresi damai mengenai ketidakpuasan atas kebijakan dan kehadiran negara sah dalam demokrasi dan hak asasi manusia.
Selain itu, Pasal 192 KUHP baru soal makar untuk memisahkan diri dari wilayah Indonesia dapat diancam pidana mati. Sebelumnya, pasal ini dalam KUHP lama pada Pasal 106 tidak diancam pidana mati. Celakanya, terbukti dalam penerapan pasal ini yang tidak hanya dilakukan secara diskriminatif, tetapi juga eksesif. Pada kasus aktivis Papua yang aksi protes damai atas kejadian rasisme pada 2019, 7 Tapol Papua yang disidang di Balikpapan, didakwa menggunakan pasal ini. Bayangkan, aksi serupa oleh aktivis Papua ke depan, bukan tidak mungkin diancam hukuman mati.
8. Pasal berita bohong yang membelenggu pers dan partisipasi publik
Pasal 263 dan 264 KUHP memidana orang yang menyebarkan berita bohong, baik secara sengaja atau karena tidak hati-hati mengcrosscheck, yang menimbulkan kerusuhan atau dapat menimbulkan kerusuhan. Pasal ini adalah saduran dari Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946. Sedikit perbedaanya yaitu unsur kerusuhan di dalamnya mengganti unsur keonaran pada aturan yang digantikannya. Sekilas, ini lebih jelas karena jika dikaitkan dengan pasal lain yang mendefinisikan kerusuhan (Pasal 190), kerusuhan dimaknai menjadi peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih. Namun, sebagian besar unsur dari pasal ini tetap problematik. Misalnya, siapa yang akan menentukan suatu berita bohong atau benar? Siapa yang akan memberikan takaran bahwa suatu berita itu dapat menyebabkan kerusuhan? Apakah mungkin hanya dengan pengakuan sepihak pelaku yang rusuh?.
Kekhawatiran ini bukanlah hal yang berlebihan, penerapan serupa pernah terjadi pada kasus Jumhur Hidayat yang mengkritik Omnibus Law melalui cuitannya di Twitter. Hal ini berakhir dengan tuntutan penyebaran berita bohong. Skenario perkara bahkan terdapat pelaku kerusuhan yang entah bagaimana caranya menyatakan dirinya melakukan kerusuhan karena cuitan Jumhur. Pasal berita bohong yang disadur ke sini juga pernah dikenakan kepada jurnalis. Misalnya, pada kasus Bambang Harymurti, Pemred Tempo yang dipidana menggunakan pasal ini karena memberitakan indikasi keterlibatan Tommy Winata pada kasus terbakarnya Tanah Abang pada tahun 2004. Pasal ini sangat berpotensi membuat kebebasan pers Indonesia yang dianggap baik, bisa kembali mundur menjadi terbelenggu dan membuat gentar publik (chilling effect) yang berpartisipasi menyampaikan kabar atau pendapatnya tentang suatu masalah yang dianggap perlu untuk diketahui umum.
9. Pidana denda yang memiskinkan
Pengaturan tentang pidana denda dalam Pasal 81 KUHP baru yang memberikan kewenangan terhadap negara untuk melakukan penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan terpidana untuk membayar denda yang dijatuhkan sebagai hukuman adalah salah satu bentuk kekejaman yang mencekam dalam KUHP baru. Seseorang yang dihukum tidak hanya menjalani penjara, tetapi ditambahknan juga betuk pemidanaan lain yang dapat memiskinkannya.
Sistem denda dalam KUHP lama dan undang-undang yang mengandung sanksi pidana sebelumnya menentukan bahwa, jika denda tidak dibayar maka akan diganti kurungan atau penjara. Terpidana diberikan hak untuk memilih akan membayar denda atau menjalani masa tambahan penjara. Menerapkan denda secara kumulatif dengan pidana perampasan kemerdekaan dengan memposisikan jaksa sebagai collector tak lain seolah-olah menempatkan para terhukum sebagai sumber pendapatan negara. Terlebih pasal-pasal KUHP baru yang menentukan sanksi kumulatif penjara dan denda, masih terdapat frasa-frasa multitafsir yang cenderung juga dapat mengkriminalkan korban kejahatannya. Misalnya Pasal 609 KUHP baru terkait narkotika yang berbunyi, “Setiap orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika..” dan Pasal 407 KUHP baru yang menyatakan, “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan Pornografi…” dua pasal ini acap kali mengkriminalisasi orang yang merupakan pengguna, korban atau yang terjebak dalam suatu skenario kejahatan tersebut. Lebih-lebih ancaman dendanya sangatlah besar bahkan bisa mencapai miliaran rupiah sebagai mana pengaturan kategorisasi denda KUHP baru dan pengaturannya yang bersifat minimum khusus. Besar kemungkinan, seseorang akan menjalani penjara tetapi juga mendapati keluarganya porak-poranda dan menderita akibat harta & asetnya diambil negara. Menerapkan sistem denda harian berdasarkan kemampuan terpidana sebagaimana diterapkan banyak negara maju, mungkin lebih manusiawi ketimbang ini. Walaupun memang butuh infrastruktur yang lebih memadai dan integritas sistem peradilan yang lebih kuat.
10. Living law (hukum yang hidup dalam masyarakat)
Dengan semangat dekolonialisme, KUHP baru mengatur pengecualian terhadap asas legalitas yang mengatur bahwa tidak ada perbuatan yang bisa dipidana kecuali ditentukan undang-undang. Pengecualian inilah yang memberlakukan ketentuan tentang living law (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang ditafsirkan sebagai tindak pidana adat. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 2 KUHP baru yang dalam penjelasannya disebutkan living law ini diatur dengan Perda, “…Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut.” Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat dalam hukum adat, tidak ada batasan antara pidana dan perdata, selain itu tidak ada ukuran yang dapat menetapkan batas minimum ataupun maksimum pidana. Terlebih lagi, sebelum ketentuan ini diberlakukan saja, sudah terdapat sebanyak 421 kebijakan perda diskriminatif di tahun 2016 dan pada tahun 2022 angkanya masih tinggi yaitu 305 peraturan. Dalam catatan Komnas Perempuan, perda-perda ini mendiskriminasi dan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, anak, dan kelompok minoritas.
11. Pidana terkait ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila
Pasal 188 KUHP baru mengatur, “Setiap Orang yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila Di Muka Umum…” dipidana penjara hingga 4 tahun. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi ekspresi politik seseorang yang dalam seluruh atau sebagiannya merujuk kepada paham-paham yang dianggap bertentangan tersebut. Terlebih pengertian ‘di muka umum’ saat ini diperlebar. Pasal 158 mendefinisikan, “Di muka umum adalah di suatu tempat atau Ruang yang dapat dilihat, didatangi, diketahui, atau disaksikan oleh orang lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media elektronik yang membuat publik dapat mengakses Informasi Elektronik atau dokumen elektronik.” Postingan-postingan meme ataupun tulisan blog atau kreativitas di internet yang mengandung muatan yang dianggap melanggar pasal ini sangat rentan dikriminalisasi.
Meskipun terdapat pengecualian dalam ayat (6) yang menyatakan “Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan;” terdapat pembatasan (limitasi) yang belum tentu bisa mengcover pendapat/ekspresi damai yang tidak mengandung kejahatan atau kekerasan sama sekali. Penjelasan ayat (6) ini menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan’ misalnya, mengajar, mempelajari, memikirkan, menguji, dan menelaah di lembaga pendidikan atau lembaga penelitian dan pengkajian…”
Masalah ikutan berupa penentuan eksklusifitas bagi lembaga pendidikan atau penelitian ini akan memposisikan kelompok masyarakat di luar itu, yang mengekspresikan pemikirannya secara damai tidak terlindungi. Termasuk resiko seseorang diframing oleh sekelompok orang melanggar pasal ini. Pada KUHP lama misalnya, delik ini lah yang menghukum Budi Pego, pejuang lingkungan asal Banyuwangi Jawa Timur, yang berusaha mempertahankan tanah dan alamnya dari penjarahan perusahaan tambang. Ia dipenjara 4 tahun hanya karena terdapat spanduk berlogo palu arit saat ia demonstrasi. Meskipun membantah dengan tegas spanduk tersebut bukan miliknya dan tidak diketahui siapa yang menaruhnya di sana, ia tetap dipenjara. Pasal-pasal ini pula yang seringkali dijadikan rujukan oleh kelompok vandal yang melakukan sweeping dan razia terhadap buku.
Memperjuangkan ruang tafsir KUHP baru
Selain soal pasal-pasalnya sendiri bermasalah, sebagaimana disinggung pada beberapa bagian uraian, pelaksanaan KUHP juga akan penuh tantangan. Resiko KUHP baru yang mengubah banyak hal dalam sistem pemidanaan juga menyisakan ruang tafsir yang rentan disalahartikan. Tingkat keandalan sistem hukum pidana Indonesia yang rendah menyimpan resiko tinggi pasal-pasal pidana di KUHP baru bisa memangsa warga negara. World Justice Project (WJP), organisasi pemeringkat rule of law secara global, dalam Rule of Law Index pada 2022 memberi skor sistem peradilan pidana Indonesia di angka 0,39 dari 1.00, berada pada tingkat 88 di dunia dan nomor 3 terburuk Di Asia tenggara. Hal ini terjadi karena faktor masih lemahnya efektivitas penyidikan tindak pidana, sistem pemasyarakatan yang buruk (over capacity) dan tingginya angka korupsi penegak hukum selain itu tendensi KUHP baru memidana banyak perbuatan yang seharusnya masuk wilayah rezim hukum lain seperti hukum administrasi dan perdata juga akan semakin membebani sistem pemasyarakatan Indonesia yang tengah menghadapi persoalan pelik over kapasitas penjara sebagaimana disinggung WJP.
Salah satu temuan yang didapatkan melalui rangkaian kopi darat atau pertemuan informal yang diselenggarakan oleh EngageMedia Mei 2023 lalu adalah adanya keperluan untuk menyasar kampus sebagai peluang untuk merebut tafsir atas KUHP baru. Terlepas dari banyak faktor lain yang perlu diperhatikan termasuk kemungkinan perubahan dan judicial review, mengingat KUHP baru akan segera diberlakukan pada Januari 2026, terdapat ruang besar bagi akademisi, mahasiswa hukum, ataupun secara luas praktisi hukum dan organisasi hukum (legal society) untuk mempelajari dan mengembangkan serta mempertahankan tafsir demokratis terhadap KUHP. Agar cita-cita KUHP baru yang ingin membebaskan Indonesia dari belenggu kolonialisme hukum pidana, tidak justru berbalik menjadi alat pembungkaman dan mencederai hak asasi manusia.
Komentar ditutup.