This post is also available in:
English
#KopDar 1 dalam agenda advokasi lanjutan pasca-pengesahan KUHP bersama organisasi masyarakat sipil (OMS)
Kriminalisasi dan pembatasan ekspresi keagamaan dan keyakinan di ruang daring masih menjadi isu yang mengkhawatirkan walaupun Konstitusi menjamin perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana dipaparkan dalam laporan yang disusun oleh Diani Citra (Sintesa Consulting) dan Pradipa P. Rasidi (EngageMedia) di tahun 2022 lalu. Revisi terbaru dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan berlaku di tahun 2026 nanti dikhawatirkan akan semakin memperkuat masalah ini.
Pengesahan RKUHP ini berhasil mendorong perubahan sistem penjatuhan hukuman mati dengan penambahan persyaratan yang diatur dalam Pasal 100 ayat (10) dan keringanan hukuman bagi narapidana yang menjalani pidana seumur hidup (Pasal 69). Organisasi masyarakat sipil tidak menyangkal bahwa ini merupakan sebuah kemenangan kecil dari perkembangan hukum di Indonesia. Namun perjuangan advokasi dan kampanye yang dilakukan sejak 2019 silam masih belum dapat dikatakan sukses seutuhnya. Setidak-tidaknya terdapat 12 pasal bermasalah dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan Desember 2023 lalu. Ancaman atas hak asasi manusia dan kriminalisasi masih akan terus menghantui siapapun jika mereka dianggap melakukan penghinaan terhadap pemerintah, hidup bersama tanpa hubungan suami istri yang sah, dirasa melakukan penodaan agama, hingga penyerapan beberapa aturan dalam UU ITE.
EngageMedia menginisiasi tiga pertemuan informal (#KopDar) mengenai advokasi lanjutan pasca-pengesahan KUHP pada Mei lalu. Pertemuan ini dihadiri 45 undangan yang terdiri dari aliansi nasional #ReformasiKUHP, media independen, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil (OMS) terkait. Dalam pertemuan pertama, kami memfasilitasi refleksi di antara OMS yang mengawal RKUHP hingga tahap pengesahan di Desember 2022 lalu. Masyarakat sipil yang hadir mengungkapkan adanya kebutuhan untuk konsolidasi lanjutan antara teman-teman aliansi, dan koordinasi antara tim pemegang substansi serta tim kampanye. Hal tersebut belum dapat terlaksana karena fokus yang terbagi dalam beberapa UU polemik lainnya, seperti Perpu Cipta Kerja, #ReformasiKepolisian, Revisi UU ITE, dan RUU Kesehatan. Karena sumber daya OMS yang terbatas, semua orang dituntut untuk bisa “bagi badan” mengawal peraturan berpolemik lainnya.
Pertemuan kedua dihadiri oleh sejumlah organisasi media anak muda, serikat mahasiswa, dan jurnalis lepas. Mahasiswa merasakan kejenuhan akan rutinitas aksi massa (turun ke jalan) yang digelar acap kali disahkannya kebijakan represif. Alih-alih mencapai tujuan untuk meningkatkan kesadaran khalayak ramai melalui kampanye, akhirnya justru dibajak menjadi sekadar aksi turun ke lapangan. Tambah lagi, pandemi COVID-19 mengalihkan pembelajaran ke dalam format daring, menyebabkan absennya interaksi intensif antara mahasiswa dengan seniornya. Mahasiswa mengalami kebuntuan menentukan rencana advokasi yang matang. Tantangan-tantangan ini yang kemudian menyebabkan gerakan mahasiswa hanya sebatas merespons dan tidak bisa menyusun rencana strategis. Kegagalan membaca pola pemerintah dalam mengesahkan legislasi yang kerap berbenturan dengan perlindungan HAM dan absennya imajinasi politik seperti Gerakan Reformasi 1998 atau Yellow Umbrella Movement di Hong Kong juga menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar yang perlu dibenahi.
Rangkaian pertemuan #KopDar ini ditutup dalam pertemuan ketiga bersama teman-teman dari komunitas marginal yang ternyata memiliki cara unik dalam menyerukan kampanye dan bersikap pasca-pengesahan KUHP. Komunitas LGBT misalnya, melakukan pendekatan ke daerah-daerah dikarenakan banyaknya peraturan daerah yang bermunculan dan bersyaratkan kebijakan anti-LBGT. Ada juga yang mengambil jalur tidak terlalu vokal karena adanya ketakutan backfire: alih-alih berhasil melawan kebijakan yang diskriminatif, justru keberadaan komunitas LGBT semakin ditekan. Isu lain yang sedang dikerjakan bersama dengan kelompok kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah RUU Penghapusan Diskriminasi. RUU ini diharapkan mampu menjadi tameng atas KUHP baru yang akan diberlakukan pada tahun 2026 nanti.
Secara garis besar kita memiliki waktu dua tahun sebelum KUHP tersebut berlaku. Dalam dua tahun ini, menurut hasil pertemuan informal kami, ada beberapa kantung yang dapat disasar untuk mengadvokasikan pasal-pasal bermasalah dari KUHP serta menyediakan pengimbang dari narasi pemerintah yang selalu mengglorifikasi KUHP baru ini adalah produk dekolonialisasi, produk asli anak bangsa. Di tiap #KopDar, kami menemukan bahwa peserta merasa perlu menyasar kampus sebagai salah peluang untuk merebut tafsir atas KUHP baru. Universitas, khususnya Fakultas Hukum, memiliki peran sangat penting karena kebutuhan ahli hukum dalam penafsiran KUHP di persidangan bisa menjadi senjata yang kita gunakan untuk menekan pasal-pasal problematik dalam KUHP. Sosialisasi atau diskusi kritis dapat terjadi dalam lingkungan universitas yang dapat menjadi pijakan mahasiswa/wi kedepannya.
Oleh karenanya, sesuai dengan misi dari EngageMedia, kami bekerja sama dengan PANDHEKA UGM, Radio KBR, dan Project Multatuli untuk memproduksi rangkaian konten berupa artikel, podcast, dan video sebagai salah satu bentuk kampanye publik advokasi lanjutan atas KUHP baru. Secara luas kampanye ini akan menyediakan ruang berinteraksi antara publik dan para ahli mengenai KUHP. Selanjutnya EngageMedia akan secara khusus menelaah pasal problematik yang meliputi pasal penodaan agama, pencemaran nama baik, dan pornografi dengan berkolaborasi menghadirkan narasumber dari tiap-tiap pemangku kepentingan, para akademisi, OMS, mahasiswa, dan tidak menutup kemungkinan, pemerintah terkait.