This post is also available in: English Thai Burmese Khmer
Sekitar 30 peserta dengan latar belakang, akademisi, jurnalis pengacara, feminis, dan pejuang hak LGBT dan aktivis HAM dan hak digital lainnya berkumpul di Lalmatia, Dhaka, untuk bertemu dengan rekan-rekan seperjuangannya secara luring pada acara solidaritas di Bangladesh sebagai salah satu rangkaian dariAsia-Pacific Digital Rights Forum pada 14 Januari 2023 silam.
EngageMedia bermitra dengan Digitally Right untuk menggelar acara ini, yang diadakan secara paralel dengan acara solidaritas di empat lokasi lainnya yaitu Bangkok, Jakarta, Kuala Lumpur, dan Manila, dengan tujuan menyediakan ruang bagi agen perubahan untuk bertemu satu sama lain dan membangun solidaritas kawasan yang lebih kuat.
The Dhaka event featured sessions on online media freedom, hate speech, online gender-based violence (OGBV), and a focus group discussion (FGD) on the use of open and secure technology. Towards the end of the day, the group shared their learnings with their peers in the four other solidarity events through a virtual video call.
Kebebasan berbicara di ruang daring Bangladesh
Acara dimulai dengan sesi tentang kebebasan media daring dan penyensoran, mengulas berbagai isu dari pihak-pihak utama yang terlibat dalam pembatasan kebebasan berbicara hingga diskusi tentang pembatasan ekspresi yang sewajarnya tanpa mengekang hak-hak mendasar.
Md. Saimum Reza Talukder, Dosen Senior Sekolah Hukum BRAC University membahas kebebasan berekspresi, pengintaian massal, platform Big Tech, serta tanggung jawab pengguna dan negara dalam menjamin kebebasan berbicara di Bangladesh. Dia menekankan bahwa seharusnya tidak ada pembedaan antara hak di dalam dan luar jaringan. “Seluruh hak yang terjamin secara offline seharusnya juga berlaku online,” ujarnya.
Pengacara dan aktivis HAM Rezaur Rahman Lenin menambahkan sejumlah contoh pembatasan internet di Bangladesh dan menyoroti tren penyensoran diri yang berlangsung serta peran aktor negara dan non-negara dalam menyerang suara kritis di dunia maya. Dia juga membahas prinsip-prinsip pengarah untuk menjaga keseimbangan yang rentan goyah antara membatasi konten berbahaya dengan memberikan ruang untuk narasi kritis dan dipertentangkan.
Politik feminis dan kekerasan berbasis gender online
Sesi kedua tentang ujaran kebencian dan kekerasan berbasis gender online (KBGO) membuka diskusi tentang politik feminis, gerakan keadilan sosial, dan serangan balik terhadap kesetaraan gender di ruang digital. Para peserta juga membahas realitas dan dampak ujaran kebencian online dan KBGO di Global South, terutama Bangladesh. Menurut suatu survei dari November 2021, kasus KBGO meningkat selama pandemi; 63,51% dari 359 responden mengaku bahwa mereka berhadapan dengan kekerasan dalam jaringan.
Dalam sesi ini tiga aktivis yakni dari Meye Network, sebuah platform pengorganisasian feminis akar rumput, diundang untuk memberikan pencerahan tentang kiprah kerelawanan mereka dan pekerja profesional independen yang berkecimpung dengan pergerakan perempuan Bangladesh. Trishia Nashtaran, pendiri Meye Network dan presiden pendiri OGNIE Foundation Bangladesh, bercerita tentang jaringan yang ia bentuk sepuluh tahun lalu dari sebuah grup Facebook dan menyediakan ruang aman bagi perempuan untuk berbagi tentang kekerasan yang dialami dan membahas penanggulangannya. Dari titik ini, jaringan ini berkembang menjadi OGNIE Foundation yang juga bergerak di bidang feminisme interseksional dan gerakan seputar LGBTQI dan identitas terpinggirkan lainnya.
Iffat Jahan Antara, Senior Research Associate dari BRAC Institute of Governance and Development, menerangkan penelitiannya tentang ujaran kebencian dan pelecehan di dalam jaringan serta pengalaman kerjanya dengan UN Women untuk menciptakan modul pelatihan untuk melawan kekerasan berbasis gender. Sementara itu, Nafisa Tanjeem, Associate Professor dari Worcester State University, bergabung secara virtual dari Amerika Serikat untuk membahas pengaruh skema kapitalis di balik platform Big Tech dan budaya impunitas dan anonimitas di dunia maya terhadap KBGO.
Acara solidaritas berakhir dengan sesi diskusi kelompok terarah untuk menakar taraf kesadaran organisasi masyarakat sipil, pembela HAM, dan pejuang hak digital di Bangladesh terhadap ancaman daring dan pengintaian oleh aktor negara dan non-negara. Para peserta membahas pemahaman mereka terhadap cara memitigasi ancaman-ancaman ini menggunakan teknologi aman dan terbuka – seperti menggunakan virtual private network (VPN), aplikasi pengelola kata sandi yang terenkripsi, dan aplikasi pesan pendek yang aman. Diskusi juga mencermati alasan menggunakan atau tidak menggunakan teknologi-teknologi tersebut dan cara para agen perubahan bisa bekerja dengan lebih aman, etis, dan berkelanjutan.
READ HIGHLIGHTS FROM DAY 1 OF THE FORUM