Search
Close this search box.

Melindungi atau membatasi hak warga negara? Laporan terbaru atas lanskap hak digital di Indonesia


Acara peluncuran riset ini dikemas dalam diskusi yang ditanggapi oleh (searah jarum jam dari kiri atas) Ika Krismantari, Deputi Editor Eksekutif The Conversation Indonesia; Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Fiona Suwana, pengajar University of South Australia; dan Diani Citra, selaku konsultan riset EngageMedia.

Pada tanggal 1 Desember, EngageMedia meluncurkan laporan penelitian yang memetakan aktor utama, pencapaian, dan tantangan hak digital di Indonesia. “Laporan Hak Digital di Indonesia 2021” memuat lima isu kunci tentang hak digital dan memberikan sejumlah rekomendasi untuk memperkuat masyarakat sipil dalam membela hak digital mereka di masa depan.

Lebih dari 44 pegiat dan advokat hak digital menghadiri acara peluncuran riset ini bersama para pemantik diskusi yakni Diani Citra, selaku konsultan riset EngageMedia; Ika Krismantari, selaku deputi editor eksekutif The Conversation Indonesia; Wahyudi Djafar, selaku direktur eksekutif Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); dan Fiona Suwana, selaku pengajar di University of South Australia.

Para pembicara memberikan pandangan mereka terhadap keadaan hak digital di Indonesia, di saat ruang publik seiring berkembangnya zaman berpindah ke ranah digital. Mendefinisikan hak digital menjadi salah satu tantangan awal dalam memperjuangkan hak-hak digital di Indonesia. Usaha memberikan pemahaman tentang hak digital bak “gajah dan lima orang buta yang mencoba untuk mendeskripsikan gajah dari sudut pandang dan potongan-potongan yang berbeda,” tunkas Ika Krismantari.

Laporan Hak Digital di Indonesia 2021” ini adalah hasil dari riset yang dilakukan oleh EngageMedia sejak awal tahun 2021, mewawancarai 27 narasumber dari kalangan masyarakat sipil. Belum adanya definisi hak digital yang pakem berpotensi menimbulkan tantangan dalam menegakkan hak digital di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan definisi yang digunakan oleh pemerintah dan masyarakat sipil. Buramnya definisi ini juga ditemui oleh narasumber dalam proses penelitian. Pasalnya, tidak banyak pegiat masyarakat sipil yang berangkat dari latar digital; kebanyakan berasal dari pejuang hak asasi manusia “konvensional”, seperti kebebasan pers atau gender, yang merasuk ke ranah digital seiring berkembangnya digitalisasi.

Sebagian besar narasumber setuju bahwa pelanggaran atas hak digital sudah ada di depan mata. Regulasi yang dihasilkan pemerintah lebih memiliki implikasi untuk mengontrol dan membatasi gerak-gerik di ruang digital dan sekadar memuluskan jalannya ekonomi, ketimbang melindungi warga negara atas ancaman atau pelanggaran di ranah digital. Sebutlah Undang-undang ITE yang berperan besar dalam pemidanaan lebih dari 100 warganet dengan 676 perkara sepanjang tahun 2016 sampai 2020.

Riset EngageMedia mengenai laporan hak digital ini berusaha mengakui tantangan awal tersebut dan mencoba memberikan gambaran masalah-masalah mendesak yang dihadapi oleh masyarakat terkait pemenuhan hak digital, terutama mengingat digitalisasi di Indonesia semakin dikatalisasi pandemi COVID-19. Digitalisasi ini sudah banyak dikritik kalangan akademisi sebagai proses yang mempercepat praktik-praktik otoritarianisme, melalui intimidasi dan serangan buzzer politik, pengumpulan data serta perselingkuhan negara dengan korporasi, dan pengekangan kebebasan sipil. Riset ini menemukan lima temuan kunci, yakni:

  1. Perlindungan Aktivis dan Jurnalis
  2. Kriminalisasi Wacana Digital
  3. Mitigasi Dampak dari Manipulasi dan Disinformasi Media
  4. Keamanan dan Perlindungan Data
  5. Akses

BACA LAPORAN HAK DIGITAL INDONESIA 2021

Dari temuan tersebut, perlindungan aktivis dan jurnalis menjadi isu kunci pertama karena ketidakjelasan aturan atau perlindungan atas hak digital acapkali menyebabkan penangkapan atau proses hukum yang tidak jelas kepada para aktivis dan jurnalis saat menggunakan kebebasan berekspresinya di internet. Poin kriminalisasi wacana digital mendapat porsi sendiri untuk melihat adanya perbedaan pelayanan pemenuhan hak digital masyarakat pada umumnya bila dibandingkan dengan para jurnalis atau mereka yang merupakan bagian dari organisasi masyarakat sipil.

Temuan ketiga melingkupi bukan hanya pelaku utama penyebar tindakan disinformasi, tapi juga kalangan yang tak berniat buruk dalam menyebar disinformasi, seperti anggota keluarga. Kalangan ini sering terlibat dalam penyebaran disinformasi, baik melalui grup WhatsApp maupun platform seperti Facebook. Pembahasan dalam temuan kunci ketiga ini melihat maraknya disinformasi dalam kontestasi politik seperti pada Pilpres 2019 dan Pilkada 2020, saat khalayak ramai terlibat menyebarkan disinformasi ketika berusaha mengekspresikan pendapat mereka mengenai masing-masing paslon.

Keempat, tingginya angka penetrasi internet di Indonesia menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan terkait perlindungan atas data privasi yang diunggah di platform online. Misalnya, untuk transaksi e-commerce maupun unggahan pribadi dalam akun media sosial. Ketika terjadi kebocoran data pengguna, siapakah yang wajib bertanggung jawab, apakah Facebook selaku platform? Atau negara? Apakah yang dapat dilakukan negara terhadap platform yang sengaja maupun tidak sengaja membocorkan data pribadi tersebut? Dalam sesi diskusi, Citra juga mengutarakan adanya keunikan jika berbicara tentang hak digital karena “jaminannya, ratifikasinya, dilakukan oleh negara tetapi pemenuhannya diberikan oleh pihak swasta.”

Dalam peluncuran riset ini, panelis menyepakati pentingnya keberadaan literasi digital, akuntabilitas platform, capacity building, dan pemerataan infrastruktur digital di Indonesia. Namun, ada beberapa catatan tambahan yang perlu dipertimbangkan dan didorong pemenuhannya, salah satunya adalah mempertimbangkan multi-stakeholder dalam usaha menyusun tata kelola internet (internet governance) di Indonesia serta pemerataan pengetahuan terkait isu digital di kalangan masyarakat sipil yang harus ditingkatkan.

Bagi Djafar, pilihan pendekatan digital governance di Indonesia masih belum jelas.

Ia menambahkan: “Apakah multi-stakeholder? Atau paternalistik, otoritas selalu ada di negara: boleh ada FGD dan lain sebagainya, tapi konsensus tetap berada di tangan pemerintah? Atau mau jadi libertarian: kita mau membiarkan platform dengan model bisnis tertentu bisa berguna bagi konsumen tapi juga tetap menguntungkan bagi companies?”

Sudah saatnya akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan untuk duduk dan melakukan riset bersama dalam memperjelas dan memenuhi hak digital di Indonesia. Ini juga menjawab pertanyaan dan menjadi solusi atas bagaimana selayaknya pemerintah membuat regulasi yang melindungi warganya dalam penggunaan dan pemanfaatan internet.

Artikel ini ditulis bersama oleh Debby Kristin, Pradipa Rasidi, dan Maria Karienova

Hasil penelitian yang dipublikasi dalam Laporan Hak Digital Indonesia 2021 oleh EngageMedia bisa dibaca dan diunduh pada pranala ini.