This post is also available in: English Thai Burmese Khmer
Pejuang hak digital, pembela hak asasi manusia (HAM), dan organisasi masyarakat sipil (OMS) dari berbagai penjuru Asia Pasifik berkumpul secara daring mengikuti Hari pertama Asia-Pacific Digital Rights Forum pada 12 Januari 2023 untuk membahas isu-isu hak digital di kawasan yang paling mendesak.
Pleno Pembukaan: Situasi Hak Digital Asia Pasifik
Pleno pembukaan acara memberikan gambaran umum atas tantangan-tantangan -hak digital dah dihadiri oleh lebih dari 60 peserta. Sesi ini juga disiarkan secara langsung dalam Bahasa Indonesia, Burma, Khmer, dan Thai.Chat Garcia Ramilo, Direktur Eksekutif Association for Progressive Communications, mengamati betapa hak digital berada di bawah ancaman teknologi pengintaian, kebijakan yang mengekang kebebasan berbicara, dan kurangnya pengaturan terhadap sektor teknologi dan aktor non-negara.
Ramilo menekankan bahwa pejuang hak digital harus lebih terlibat dalam diskusi infrastruktur teknologi. Di tengah pergerakan menuju privatisasi infrastruktur yang sejenis, Ramilo menyampaikan perlunya melihat internet dan teknologi digital sebagai bagian dari kepemilikan bersama.Helani Galpaya, Chief Executive Officer dari digital policy think tank LIRNEasia, mengatakan bahwa akses digital yang bermakna adalah prasyarat untuk mengimplementasikan hak di ruang digital. Menurutnya, pandemi, adalah salah satu fenomena terburuk yang memberikan dampak atas akses internet. Ia memaparkan contoh keterkaitan antara akses pendidikan dan internet di berbagai rumah tangga di Asia Selatan.
Vitit Muntarbhorn KBE, Profesor Emeritus dari Fakultas Hukum Universitas Chulalongkorn, menggarisbawahi relasi kuasa dalam ranah digital. Meskipun pembela HAM menyediakan check-and-balance terhadap penyalahgunaan kekuasaan, mereka kerap bekerja di bawah kondisi yang gamang karena banyak negara Asia berada di bawah konteks non-demokratis. Selain itu, terdapat juga isu yang berkaitan dengan monopolisasi data oleh Big Tech.
Para panelis menekankan pentingnya kolaborasi dalam menyusun kebijakan yang menghormati hak-hak ini. Mereka juga menyoroti bahwa pembela hak perlu melibatkan diri dalam forum-forum yang lebih luas dari ruang-ruang hak digital yang biasanya untuk memberikan dampak perubahan yang berarti.
Rangkuman Sesi
Sesi breakout tentang ekstremisme menyoroti ketegangan antara kebebasan berbicara dan mengarah ke ujaran kebencian. Para pembicara mengakui bahwa pengaruh latar belakang budaya dan politik setempat dalam menentukan batasan-batasan dalam berujar perlu dipertimbangkan, namun juga menyepakati bahwa terdapat nilai-nilai universal yang perlu disetujui bersama.
Dalam sesi keadilan gender, para pembicara mengangkat manfaat storytelling dalam mengangkat narasi dari kelompok-kelompok termarginalisasi. Membangun solidaritas untuk ruang-ruang digital yang lebih humanis juga tidak kalah penting.
Dalam diskusi tentang keadilan iklim dan internet, para pembicara menyatakan bahwa akses data adalah hal krusial untuk ikut serta dalam upaya-upaya keadilan iklim agar bisa menjadi rencana yang bisa ditindaklanjuti, melihat urgensi dari krisis iklim dan berbagai dampaknya terhadap komunitas masyarakat adat.
Di sesi otoritarianisme digital, para pembicara membahas berbagai instrumen yang digunakan oleh pemangku kuasa untuk meredam pergerakan demokrasi, seperti kampanye disinformasi, peraturan yang mengekang, serta penargetan serangan digital.
Lingkup pembicaraan yang diperluas dan keikutsertaan suara-suara yang kurang terwakili adalah kunci dalam diskusi tentang keadilan data. Para pembicara menyoroti bahwa adanya perbedaan konsep di antara komunitas dan dinamika kekuasaan yang mempengaruhi penetapan norma.
Disinformasi terus menjadi isu rawan dalam Asia Pasifik. Para pembicara menyoroti kesulitan untuk menanggulangi hal ini dengan besarnya pengaruh kepentingan korporasi. Solusi yang efektif harus disesuaikan dengan konteks masing-masing.EngageMedia mengundang agen perubahan untuk melanjutkan pembahasan ini melalui Forum.EngageMedia.org/Discuss.