This post is also available in: English Thai Burmese Khmer
Menyusul diskusi yang berlangsung pada Hari ke-1, Hari ke-2 Asia-Pacific Digital Rights Forum berfokus pada penguatan solidaritas dalam kawasan melalui kolaborasi lintas sektor dan jaringan masyarakat sipil dengan berbagai pemangku kepentingan.
Pleno Pembuka: Membangun Solidaritas Kawasan dan Kolaborasi tentang Hak Digital
Pleno pembuka berpusat pada pentingnya membangun koneksi antara pejuang hak digital. Lebih dari 60 peserta menyaksikan sesi ini, yang juga disiarkan secara langsung dalam Bahasa Indonesia, Burma, Khmer, and Thai.
Solidaritas dan kolaborasi dibutuhkan oleh organisasi hak digital untuk benar-benar memahami konteks ruang operasinya, ujar Direktur Eksekutif EngageMedia Phet Sayo, yang menegaskan perlunya membangun pemahaman secara kolaboratif. Bekerja dengan indisipliner adalah kunci dalam hal ini. Sayo menambahkan bahwa sense-making dalam ranah hak asasi manusia (HAM) di era digital adalah upaya bersama yang multi-dimensi.
Khin Ohmar, Pendiri Progressive Voice of Myanmar, berbagi tentang perjuangan rakyat Myanmar yang masih berlanjut melawan upaya junta untuk mengekang hak-hak mereka. Namun demikian, usaha ini tidak dapat dijalankan sendiri, dan Ohmar menekankan bahwa dukungan dari masyarakat internasional terhadap perjuangan mereka dengan menyebarluaskan perkembangan dari Myanmar tetap diperlukan.
Di berbagai penjuru Asia Pasifik, rezim pemerintahan otoriter berhasil mengambil kendali atas ruang digital. Walaupun demikian, aksi kolektif adalah kunci untuk meningkatkan kebebasan internet, ujar Brittany Piovesan, Chief of Party program Greater Internet Freedom dari Internews. Dari pengalamannya, menyediakan ruang bagi para pejuang hak untuk berbagi tentang hal yang dikerjakannya membantu membangun kesepahaman dan meletakkan pondasi untuk kolaborasi.
Rangkuman sesi
Sesi tentang kebebasan media daring mengamati dampak dari COVID-19: para jurnalis terpaksa harus menentang disinformasi di saat akses terhadap informasi andal juga terbatas, sementara pendekatan secara hukum semakin meningkat. Untuk melindungi kebebasan media, para pembicara menekankan pentingnya memperluas upaya penjangkauan dan mengikutsertakan masyarakat umum.
Pembicara dalam sesi “Challenging Big Tech” menggarisbawahi pentingnya mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam dialog yang ada untuk meminta pertanggungjawaban platform dan memperjuangkan berbagai platform alternatif yang lebih menghormati hak-hak mereka. Para pembicara juga mengajak para pejuang HAM untuk mendukung berbagai platform tersebut guna menjamin pemenuhan HAM di ranah teknologi yang kadang mahal.
Pentingnya literasi media dan pemberdayaan kaum muda untuk berpikir kritis menjadi titik berat sesi Youth Engagement. Para pembicara menekankan perlunya memanfaatkan kreativitas kaum muda untuk mengajaknya terlibat aktif dalam isu-isu hak digital.
Dalam sesi pekerja digital, para pembicara mengulas kelebihan dan kekurangan dari sistem pekerja lepas atau gig work: dengan fleksibilitas lebih di satu sisi dan kurangnya perlindungan pekerja di sisi lainnya. Mereka pun menekankan bahwa pekerja perlu mengupayakan solidaritas dan membangun kesadaran konsumen.
Sesi tentang keamanan digital memberikan gambaran umum atas ancaman keamanan di kawasan dan menyimpulkan bahwa aktivis perlu memberikan dukungan kepada satu sama lain. Para pembicara juga menyatakan diperlukannya pemahaman mengenai cara-cara pihak-pihak yang berniat buruk menggunakan teknologi untuk memberikan respons yang sesuai.
Dipandu oleh Asia Centre, kelompok diskusi terarah dalam sesi Open and Secure Technology berusaha mencermati alasan adopsi dan penggunaan teknologi terbuka dan aman masih rendah. Para peserta menyimpulkan bahwa literasi digital berperan dalam hal ini sehingga memantik diskusi tentang penggunaan alat yang terbuka dan aman adalah langkah permulaan yang baik.