This post is also available in: English Thai Burmese Khmer
Digital Rights Project Manager EngageMedia, Vino Lucero, sebagai pembicara dalam acara solidaritas di Manila. Peserta acara mengidentifikasi isu-isu prioritas mendatang bagi pejuang hak digital pada tahun 2023.
Di Filipina, pejuang hak digital terus berhadapan dengan berbagai ancaman: mulai dari instrumentalisasi hukum untuk mengancam kebebasan berbicara dan privasi, hingga kekalutan informasi yang mewujud di media sosial. Pada acara solidaritas di Manila pada Hari ke-3 Asia-Pacific Digital Rights Forum 14 Januari 2023 silam, para peserta berembuk bersama untuk menyusun agenda hak digital untuk 2023 dan seterusnya, mengidentifikasi isu-isu hak digital prioritas dan sumber daya yang diperlukan untuk menanganinya.
EngageMedia bermitra dengan Out of the Box Media Literacy Initiative untuk mengadakan acara solidaritas ini, yang digelar secara simultan dengan empat acara paralel lainnya di Dhaka, Bangkok, Jakarta, dan Kuala Lumpur. Kami mengundang para peserta untuk melanjutkan diskusi dari rangkaian acara tatap muka ini melalui Forum.EngageMedia.org/Discuss.
Apa yang harus dimasukkan dalam daftar prioritas agenda hak digital Filipina? Sumber daya apa yang kini telah tersedia untuk dibagikan dengan satu sama lain? Ini hanya beberapa contoh pertanyaan yang dicoba dijawab oleh peserta acara solidaritas di Manila untuk Hari ke-3 Asia-Pacific Digital Rights Forum.
Meninjau ulang strategi untuk advokasi hak digital yang efektif
Selama acara, para peserta mendaftar beberapa isu hak digital paling mendesak yang diproyeksi akan dihadapi aktivis hak digital dan HAM pada 2023, di antaranya kekerasan berbasis gender online (KBGO), disinformasi online, pengintaian oleh pemerintah, dan instrumentalisasi peraturan perundangan seperti undang-undang pencemaran siber, undang-undang anti-terorisme, dan Undang-Undang Pendaftaran Kartu SIM yang membatasi kebebasan berbicara dan mengancam privasi individu. Keresahan lain yang berdampak terhadap advokasi hak digital di luar isu-isu tersebut juga disoroti oleh para peserta, seperti kurangnya akses terhadap teknologi, keterbatasan literasi media masyarakat umum, dan pendanaan terbatas untuk kepentingan keamanan digital.
Para peserta menekankan bahwa dukungan lebih besar dibutuhkan untuk kampanye hak digital dan pekerjaan kelompok-kelompok yang berupaya membuat isu hak digital semakin terjangkau oleh masyarakat umum. Salah satu caranya adalah dengan memastikan bahwa konteks bahasa dan kebudayaan tertanam dalam strategi pemajuan hak digital. Hal ini bisa mencakup lokalisasi sumber daya hak digital agar dapat dipahami oleh masyarakat luas di Filipina.
Di tengah kerunyaman ancaman-ancaman hak digital ini, para peserta berpendapat bahwa sudah saatnya untuk memikirkan dan meninjau ulang strategi-strategi yang ada dan mencari cara mendapatkan solusi lebih kolaboratif untuk memaksimalkan dampak kerjanya.
“Kami selalu mencari mitra,”, tegas Monalisa Tabernilla dari Komisi Hak Asasi Manusia Filipina, yang membagikan arsip eLibrary dari lembaga negaranya yang menyimpan data sumber daya HAM dan budaya masyarakat adat. Beberapa sumber daya lainnya yang dapat diperluas secara kolaboratif adalah seri panduan dari Foundation for Media Alternatives’ tentang KBGO dan pelanggaran hak digital lainnya, serta arsip konten media dan hukum dari Human Rights Online Philippines’ yang berkaitan dengan hak digital dan HAM.