This post is also available in:
English
Thai
Burmese
Khmer

Penyensoran, ujaran kebencian, dan akses teknologi digital yang bermakna menjadi poin kunci diskusi dalam acara solidaritas di Kuala Lumpur pada 14 Januari 2023 silam, atau Hari ke-3 Asia-Pacific Digital Rights Forum.
EngageMedia bermitra dengan Jumpstart@65, pusat komunitas yang diprakarsai oleh Yayasan Hong Leong, untuk mengadakan acara luring di Malaysia yang digelar secara simultan dengan empat acara solidaritas lain di Bangkok, Dhaka, Jakarta, dan Manila.
Lima acara parallel ini bertujuan menyediakan ruang bagi para agen perubahan untuk berjumpa dengan rekan seperjuangannya dan memperkuat solidaritas kawasan. EngageMedia mengundang agen perubahan untuk melanjutkan diskusi ini melalui Forum.EngageMedia.org/Discuss.

Membahas penyensoran dan ujaran kebencian daring
Acara dimulai dengan perkenalan OONI Probe oleh Kelly Koh dari Sinar Project, yang menjelaskan cara menggunakannya untuk penelitian dan advokasi kebebasan internet. Hal ini memantik diskusi tentang penyensoran internet di Malaysia dan negara-negara lainnya. Meskipun internet di Malaysia relatif tidak dibatasi, terdapat beberapa kasus kritik politik yang mengalami pemblokiran daring. Peristiwa-peristiwa ini dibiarkan tanpa perlawanan dan dapat terulang di masa depan.
Dalam sesi ini, kelompok diskusi juga mempertimbangkan bentuk-bentuk pembatasan kebebasan berekspresi daring yang beralasan dan cara menerapkannya untuk memastikan bahwa hak-hak digital tetap terlindungi.
Nalini Elumalai dari ARTICLE 19 kemudian memulai diskusi tentang ujaran kebencian daring dan pemilihan umum Malaysia pada 2022 silam, yang memicu pesatnya penyebaran konten kebencian di media sosial. Elumalai menjelaskan standar HAM normatif untuk kebebasan berekspresi dan menegaskan bahwa segala bentuk pembatasan harus lolos dari uji legalitas, maksud dan tujuan, dan proporsionalitas. Kelompoknya juga mempelajari Rencana Aksi Rabat yang menjabarkan uji ambang batas dengan enam bagian untuk mengenali hasutan kebencian dan kerangka kerja untuk menanggulangi ujaran kebencian.
Acara solidaritas diakhiri dengan pemutaran film Grey Scale karya Evelyn Teh, yang bercerita tentang seorang perempuan lajang berusia lanjut yang menavigasi alat-alat digital yang lazim ditemukan saat puncak pandemi COVID-19. Film ini memantik diskusi tentang potensi yang dimiliki dunia yang semakin terdigitalisasi untuk mengalienasi dan mengucilkan beberapa kelompok, terutama kaum lansia.

Mempelajari dan menemukan cara melindungi hak digital
Melalui acara ini, peserta dapat membahas kekhawatiran terkait hak digital yang paling relevan bagi konteksnya masing-masing. Svetlana Zens, Programme Manager untuk Hak Digital dari Myanmar Centre for Responsible Business, menyatakan bahwa perlindungan hak digital bersifat esensial karena memastikan bahwa individu dan komunitas dapat mengakses informasi, kebebasan berekspresi, dan privasi dalam jaringan. “Hal ini mendukung orang untuk terlibat penuh dalam ekonomi digital, mengakses sumber daya pendidikan dan lainnya, serta mengikuti diskusi sosial dan politik,” ujarnya.
Zana Fauzi, seorang peneliti, menambahkan bahwa, dengan mempelajari ancaman terhadap hak digital dengan lebih lanjut, berbagai pemangku kepentingan dapat menyusun strategi untuk mengatasi isu-isu tersebut dan masalah sistemik yang melatarinya.
“Walaupun platform media mengamplifikasi aksi aktor-aktor berniat buruk, masih ada lebih banyak masalah sistemik – xenofobia, homofobia, rasisme, yang menggerogoti hak-hak masyarakat pinggiran – yang memerlukan lebih dari penanggulangan hukum, dan perlu menanamkan pendekatan ‘komunitas yang menyeluruh’ dengan inklusivitas, keberagaman, dan pluralisme,” ujarnya.